Pages

Aku pergi.. (2)


Aku menelungkupkan mukaku diantara kedua tangan yang terkatup  rapat. Rasanya ini saat yang tepat untuk melepas segalanya. Pejaman mataku terusik, seseorang memanggilku.
“ Naima!” aku mendongak. Suara orang yeng bgitu akrab ditelingaku, Derisa.  Aku menatapnya tanpa menjawab.
“ Kupikir kamu menghilang.” Suaranya yang setengah khawatir dan lega menggantung di pikiranku. Inikah saatnya?
“Aku di sini, sejak tadi. Kalian yang tak sadar aku tak ada.” Aku menggumam. Derisa tidak mendengar, dia menarikku yang tengah duduk di kursi taman sekolah.
“ Ayolah, semua tidak lagi sama tanpamu.” Dia menggeleng. Aku menatap langit yang merona senja, langit yang dikatakan Dania tak cukup membuatku untuk tertunduk.
“ aku pikir aku sudah tidak bisa ada di sana bersama kalian.” Aku memecah sayup-sayup suara gesekan dedaunan akasia.
“ Jangan konyol!”, tawanya kini membahana, sekejap kemudian semuanya menghilang, hanya aku bersama elegy yang kuciptakan sendiri.
Aku suka caranya tersenyum kecut pertanda tak setuju, aku suka keterbukaannya dalam ketidaksetujuan yang biasa kumaknai diam. Akku menyukai perbedaan kita. kita saling melempar tuduhan, yang kita ketahui sama-sama bahwa tak ada satu pun yang benar. Ini hanya cara kita untuk sebuah persahabatn.
Cara kita untuk sebuah persahabatan. Caraku – akhirnya kusimpulkan hal itu ketika semuanya meledak.
“ aku muak.” Dania menerjang batinku dengan telaknya. Aku hampir saja mearsakan bahwa duniaku berhenti berputar.
“ kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi?”. Aku tidak dapat menahan diri untuk mengeluarkan selongsong pertanyaan yang biasanya kubiarkan tetap tergantung rapi.
“ pikirmu, aku ada untuk mendengar semuanya – hal-hal yang kamu katakan? Telingaku tak hanya berfungsi untuk itu. dan aku jenuh.” Kelebat-kelebat masa lalu berputar bergantian dengan cepat. Masa perkenalan kami, tawa kami, kekonyolan kami, dan kini semuanya tersa tak punya arti. Lidahku kelu. Serbuan air mata telah siap meluncur dibalik pelupuk mata, aku merasa bodoh dan malu.
Dania  berbalik pergi tanpa sempat aku tersadar dari belalak mataku. Aku tahu dia membenci air mata, karenanya aku tak akan pernah menangis di depannya. Tak akan pernah. Aku mengenalnya lebih dari apa yang orang lain bayangkan – semula aku berpikir seperti itu. tapi itu tidak lebih dari sangkaku selama 4 tahun.

Ah...tanya kami

Perkataan banyak orang tentang yang berharga atau tidak. mereka bilang penting, tidak penting, berguna, tidak berguna, hal-hal yang semacamnya..mereka bilang pilihan ini jelek, pilihan itu bagus.
Menghakimi setiap nafas yang meraba dunia baru

Cocok, tidak cocok. siapa yang tahu? Bicara sembarangan tentang mimpi-mimpi senja kemarin. terlalu lemah, kata mereka. Menebas setiap tunas yang tumbuh tidak pada ladang mereka

Ah.. mereka yang katanya dewasa
ah.. mereka yang katanya melihat dunia luas

tapi mengapa pikiran kami dimampatkan?

Mengapa mimpi kami dipilah dalam kotak kelaziman?

Mengapa setiap tanya kami dibalas dengan
amukan murka dan amarah?

Kenapa pertanyaan kami tidak juga dijawab?

Kenapa tidak boleh mempertanyakan?

Mengapa diam-bodoh yang mereka ajarkan?

Mengapa kami dipaksa untuk mengakui tanpa mengenal?

Kebenaran absurd yang tidak terbayangkan

Kami ingin belajar dengan kesungguhan mencari
Kami ingin mengenal dengan kesungguhan ruhani
Banyak yang kami inginkan tuk mereka ajarkan..

Tapi nyatanya mereka memaksakan pengakuan
bukan pemahaman....

Aku pergi... (1)


Mereka tertawa bersama. Seperti biasanya, aku tidak bisa ikut atau setidaknya menahan diriku untuk tidak ikut bergabung, menahan loncatan-loncatan kata yang bersiap keluar dari mulutku. Batinku menyruhku untuk diam, dan dari Seni Berbicara yang aku baca, patuhi saja kala hatiku menitahkan untuk tak bicara. Entah kenapa, sejak itu aku selalu membenci jam-jam kosong yang biasanya kuisi dengan berbincang dengan mereka – sahabat-sahabatku. Aku membenci hujan yang menunda kepulanganku dan menahanku untuk tetap duduk bersama mereka. Juga kini ada kebencian baru, aku membenci diriku yang seperti ini.
Aku memilih membaca di mejaku atau berlagak mendapat inspirasi dengan membuka buku harianku, sibuk mencatat. Apapun aku lakukan saat mereka – yang biasanya kami – membicarakan banyak hal. Satu hal yang tidak bisa aku lakukan, hanya satu hal, meninggalkan mereka. Aku rasa itu akan sangat menyakitkan bagi mereka, kalaupun tidak, itu sangat menghina menurutku. Aku berbicara dengan duniaku sendiri, menyapa deretan kata-kata yang kusimpan apik di lembaran buku harianku, menatap hujan yang sangat ingin aku rutuki, menatap langit tanpa mengedipkan mata.
“tidakkah kamu bisa sekali saja menunduk tanpa pongah pada langit dan merasakan kekokohannya?”
____________________________________________________________________________

Mereka-temanku


Dua tahun aku mengenal mereka, aku tahu mereka bukan orang biasa. Berawal dari pertemuan kami yang terpaksa, perkenalan yang terjadi karena aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah. 
Aisyah, adalah orang pertama yang ku ajak berbincang setelah bersusah payah mencari teman sebagai langkah awal memulai adaptasi. Dia tidak banyak bicara dan absensinya tidak utuh pada semester pertama. Penilaian dini memang selalu terjadi, kan? Dan aku mengira dia sangat pendiam dan sulit ku ajak bicara. Tapi aku salah. Dia bisa menjadi teman yang mengasyikan, setidaknya denganku. Satu hal dari dugaanku yang benar adalah dia orang yang cerdas. Kamu tahu? Aku sempat merasa ketakutan ketika melihat dia berkacamata dan dia termasuk orang yang mendapatkan nominasi karena nilai testingnya yang besar. Beberapa guru sudah pasti telah mengincarnya karena prestasi tersebut, aku pikir ‘Wow’, dia dikenal beberapa guru bahkan sebelum mereka melihatnya. Bahasa Inggrisnya bagus, dia berbahasa dengan terstruktur dan grammar yang baik. Aku akui karena dialah  aku termotivasi untuk menguasai grammar. Kami memiliki beberapa kesamaan, kami sama-sama suka menulis dan menggambar, dan lagi-lagi aku merasa sedikit ciut ketika melihat puisinya yang unik dan gambarnya yang mempunyai karakter khasnya. Dia memiliki pembawaan yang tenang, yang seringkali aku katakan sebagai aura ketenangan yang mengerikan. Dia hanya tertawa mendengarnya. Aku sendiri begitu kontras dengannya, aku sangat ribut, berisik, cerewet dan panik.
            Selanjutnya Pratiwi, dia sangat kalem dan pendiam. Dia sungguh pendengar yang baik, dan selama pertemanan kami aku tidak pernah mendengar apapun mengenai kehidupan dia kecuali beberapa hal, selebihnya dia tertutup. Dia tipikal orang baik, tidak seperti aku yang ketus dan tukang marah-marah, dan karenanya dia selalu mendapat peran utama di setiap drama sekolah. Ya, peran utama yang baik dan kalem seperti Bawang Putih, Juliet, Cinderella. Ada satu hal menarik darinya, dia bisa menerima kabar sejelek apapun tanpa kelihatan shock seperti aku, hal yang membuat aku sedikit merasa iri. Aku pikir, ya ampun, imejnya dari awal memang seorang putri baik hati. dia juga punya bakat di bidang eksak, satu hal yang sedari dulu aku sukai. Kesadaranku mulai penuh, bahwa aku tidak seistimewa yang pernah aku bayangkan. Ada hal lucu, ketika kami berdua dengan empat orang siswa lainnya mengikuti pembinaan matematika untuk CTM (Cerdas Tangkas Matematika) UPI. Saat itu Chaerul berbicara dengannya secara tidak langsung melalui aku, dia tidak berani bertanya pada Pratiwi bahkan untuk hal-hal sepele. Ya ampun.. aku pikir dia sangat segan pada Pratiwi.

Liana, aku mengenalnya ketika aku naik ke kelas XI IPA 1, dia teman sebangku Pratiwi, dan karena aku, Pratiwi dan Aisyah selalu duduk di baris yang sama sejak kelas X-1, maka aku mengenalnya. Dia juga bukan seorang yang biasa, dia punya penalaran yang tidak bisa dikatakan mudah bagiku. Dia unggul di mata pelajaran kewarganegaraan, hal yang membuatku tak pernah tertarik. Tapi justru aku mengagumi orang yang bisa melakukan apa yang tidak bisa aku lakukan. Dia juga memiliki pronounciation yang jelas, itu dapat kusimpulkan dari penampilannya dalam DRAMA yang ditugaskan Guru Bahasa Inggris kami beberapa waktu yang lalu. Suatu saat aku tahu, bahwa dia mendapat hak istimewa dalam pertemanannya dengan Aisyah.

Risma, dia ku kenal di saat yang sama dengan Deliana. Dia sangat ekspresif, komunikatif dan memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi. Kadang aku merasa orang seperti dia akan mudah sekali dalam berakting atau berlaga dalam drama. Hal istimewa lain, dia punya daya ingat yang kuat, memori dengan kapasitas raksasa, begitu pikirku. Dia menghafal sesuatu dengan hanya sekali membaca dan menelaah. Aku selalu merasa dia istimewa. Bagaimana tidak? Perubahannya menanjak cepat ke arah yang positif. Dia memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah 1 tahun yang lalu dan perubahannya begitu terlihat, cara dia berjalan, cara dia berbicara, semuanya. Aku merasa malu karenanya, sebab aku masih saja menunjukkan perkembangan lamban sejak 2 tahun yang lalu. Dua tahun hanya sedikit merubah bagaimana diriku.
Mungkin hanya mereka orang yang dekat denganku, tapi di kelasku, baik ketika aku di kelas X-1 maupun XI IPA 1, tak ada orang yang biasa. Masing-masing punya bakat yang unik. Aku sendiri entah berbakat atau tidak, yang jelas aku memiliki hobi yang orang lain tidak terlalu suka, menulis. Ya, aku senang menulis. Tulisan-tulisanku banyak didominasi oleh syair atau puisi, beberapa cerpen dan kadang naskah drama. Aku juga berminat dalam menggambar –aku punya kumpulan gambar yang kubuat- , selain itu aku suka matematika, pelajaran itu telah aku minati sejak aku duduk di bangku SD.

Senjaku dengan – yang kukatakan kanak



Sejak lama, aku melupakan rasa yang menggelitik itu. aku lupa menjadi kanak yang memberikan warna merah muda pada langit, yang membulatkan  daun-daun  pada ranting yang kaku. Keluguan itu tidak seharusnya hilang bersama matangnya setiap pemikiran. Sejak kapan aku menjadi sebegini serius? Sejak kapan tiap tingkahku memaknai cibiran? Aku tersadar. Ya, kedewasaan mana yang membentangkan duka? Tidak. Tak pernah ada. Sebetulnya aku remaja labil yang berpura tenang – seolah tahu segalanya.

Perlukah alasan?


Aku lelah,
Jalaran resah sudah meningkahi setiap aku
Yang mencari dimana kira-kira kamu menyembunyikan kita
Yang menatapmu pada picingan mata di balik kain penutup
Yang berpura menelusuri kehilangan besar hanya untuk sekadar melihatmu..

Waktu mungkin lebih ganas dari rayap
Menggerogoti ingatan-ingatan kumal di seberang taman hati
Menghabiskan setiap serat berharga yang kukatakan cantik
Sepertinya, aku masih mengingat dengan baik
Kamu dengan kerudung putihmu yang berkibar
Kamu dengan kacamata berdiam sepanjang hari
Bertengger di hidungmu yang mungil

Ah..
Jangan lanjutkan lagi kesemuanya ini
Yang barangkali membuatmu terbahak geli
Kamu baru sadar?
Bahwa aku ternyata tak seperti yang kamu bayangkan
Bahwa bersamaku ternyata tak selalu menyenangkan..

Kawan,

…..

……

Aku tidak bilang aku ingin ditinggalkan.

Aku cuma letih. tak ada alasan. tak ada pembelaan.



tentang apa yang tertahan..

Jerit mana yang bisa tertahan? setelah terlalu banyak desakan. hujan itu kembali jatuh. Ya, Rabb.. izinkan aku menangis...

Banyak orang datang dan pergi di sekelilingku, menatap prihatin atau hanya sekadar memperlihatkan betapa mereka adalah manusia dan seorang teman - dengan menanyakan sebuah tanya tanpa tindak lanjut pasti, " Kau tak apa?". " kamu baik-baik saja..?"...

beberapa orang menganggapku skeptis dan cenderung sarkatis. tidak. aku hanya tidak mempercayakan sepenuhnya apa yang aku miliki, seluruh gelombang perasaan dan aliran deras pikiran yang mengalir. Mereka menatapku tak mengerti, seolah yang mereka dengar adalah bahasa planet yang diucapakan makhluk Mars.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------