Pages

Sahabat, Kapan Kamu Menjemputku?



Aku tahu dari matanya yang melihatku saksama bahwa dia menganggapku pesakitan di antara kumpulan orang baik itu. Kenapa? Karena aku tak juga menjulurkan jilbab ke seluruh tubuhku? Karena aku tak berucap 'jazakillah' jika berterima kasih, 'afwan' jika meminta maaf atau menundukkan pandanganku, serta masih berteriak-teriak nyaring ketika bicara?

" apa hatimu tengah mengatakan, 'ah...cahaya itu belum juga mengetuk hatinya..'?", setengah berbisik aku melintasi wanita itu.

" afwan, saya tidak bermaksud membuatmu merasa demikian."

***

Rabb, apakah Muhammad SAW memicingkan matanya ketika melihat Umar Ibn Khattab yang belum memeluk islam? Jika demikian, bagaimana mungkin beliau mampu menaklukan Mekkah dan menegakkan dien-MU? Apakah dakwah itu hanya berputar di tempat yang sama? Komunitas yang sama? Jika begitu, Rasulullah tak akan memenangkan agamaMU.. Bagaimana dengan saudara-saudara yang hatinya masih belum tergerak, tidakkah mereka merasa 'ditinggalkan'? Bagaimana dengan saudara-saudara yang belum terketuk, tidakkah mereka merasa dikhianati?

Wahai sahabat, mengapa tidak menatapku saat bicara? Mengapa senyum itu semakin meredup ketika kita bersama? Mengapa kita semakin sulit berbincang seperti dulu? Mulanya, sebelum kamu mengenakan jilbab itu kamu selalu menghabiskan waktumu denganku, membicarakan teman cowok yang disukai, guru-guru yang reseh di sekolah, banyak. Bukankah kamu juga yang mendorongku untuk pacaran? Tapi kemudian, kamu mulai menghilang bersama perubahanmu itu. Kamu sibuk dengan teman-teman seharakahmu, dakwahmu itu, sahabat... Bagaimana dengan aku? Setidaknya bertanggungjawablah untuk semua saranmu dulu, ketika kamu menyadari ada yang salah, kenapa tidak menarikku? Kenapa kamu semakin jauh dan meninggalkan aku di kubangan ini? Padahal aku juga mau pergi dari sini, kenapa tidak membantu? Padahal akulah lahan dakwahmu yang paling dekat, kenapa malah mengurusi ummat?

Wahai, sahabat, kapan kamu akan menjemputku?


Jatinangor, 31 Desember'10.
' sebuah fiksi untuk mengetuk hati..'

tentang Mereka dan Perubahan...

Setelah hampir 6 bulan tidak tinggal di rumah, banyak hal yang berubah. bagiku tampaknya terlalu mendadak, Rifky yang sudah comel berceloteh sana-sini, Uwie yang sibuk Praktek Kerja Lapangan di hotel bintang empat, bibi yang proposal nikahnya akhirnya disetujui oleh kakaknya (pamanku), dan Indri, sahabatku sejak Sekolah Dasar memutuskan untuk menikah di Februari mendatang.

Hmm.. rasanya kehilangan. Ada frase-frase yang tidak kutangkap dengan lensaku, saat-saat penting yang menentukan, yang tidak kutahu. Perubahan pasti akan selalu ada, aku tidak perlu merasa keberatan akan hal itu, bahkan mungkin aku sendiri berubah tanpa aku sadari. tapi... aku ingin jadi bagian dari momen-momen penting itu, menyaksikan prosesnya. Banyak sekali yang berkelebat di dalam sini, tanya yang tak pernah ada habisnya, "bagaimana..", "bagaimana..", "mengapa..", "mengapa....". tentu akan sangat mengasyikan mengetahui alasan-alasan seseorang dan pergolakan yang dialaminya untuk menentukan masa depan.


Perubahan. Sudah sejauh mana aku menjalaninya?

itu suaminya, ya??

Entah apa yang salah dengan kerudung lebar. Sepertinya sudah terbentuk imej tersendiri bahwa yang memakainya hanyalah seorang wanita yang sudah menikah, tidak peduli si wanita ini memakai rok berbahan jeans atau batik, tidak peduli memakai tas 'ibu-ibu' atau tas gendong khas anak SMA, tidak peduli kelihatan masih sangat imut atau sudah mulai banyak kerutan, tampaknya semua sama saja ; IBU-IBU!

Jika diingat-ingat, rasanya sudah tidak terhitung berapa kali aku dikira ibu-ibu. Ketika aku mengantar adikku, Rifky (2 tahun, ke klinik, aku dikira ibunya. Ketika menunggu damri (yang datangnya sejam sekali.hehe..)menuju kampus impian dengan menggendong tas yang gedenya bukan main (emang ada ibu-ibu pake rok jeans, pake tas gendong plus masih imut?? sebel!!!). Hari ini, lain lagi ceritanya....

Setelah didaulat untuk berkunjung ke rumah nenek yang ada di Warung Kiara, aku bareng adik perempuanku menginap di sana selama satu malam. Tepat pukul 08.30 WIB aku dijemput paman dengan motor. Nah, karena kediaman nenek begitu jauh dari jalan utama, walhasil, jadilah boncengan tiga dengan formasi: paman, adik, dan aku. Boncengan terlarang ini diputuskan hanya dilakukan sampai kami 'menemukan' jalan utama yang sudah dilalui banyak angkutan umum.

dan... keajaiban terjadi! Baru beberapa meter kami melaju, ada satu angkot di jalan kecil ini yang memang baru berangkat untuk 'narik'. Bersorak, pamanku serta merta mengehentikan angkot itu untukku. jadilah, aku dititipkan kepada pak supir dan paman ngibrit sama si adik berdua.

Selang beberapa menit, si supir angkot membuka percakapan (maklumlah... daripada bete karena masih jauh dari jalan utama).

Supir : " yang cewek temennya mbak?"

Aku : " Bukan pak, yang tadi adik saya.."

Supir : " Oh....yang ngebonceng itu siapa? suami ya????"

Aku : (terdiam sejenak, antara geli, kaget, marah, bete) " Bukan, pak! Dia paman saya.." (sembari berpikir, apa yang salah dengan aku.... -_-)

------------------------------------------------------------------------------

Si supir akhirnya kehabisan ide lagi untuk bicara dan kami hanya terdiam sepanjang jalan...

Jujur gak ya?


Ketika hati kita ‘telanjang’
Terinspirasi dari program TV yang sempat ditonton ketika libur di rumah satu minggu ini. Program TV yang  asyik sekali dijadikan hiburan pelepas penat karena kita akan tertawa terpingkal-pingkal melihat si OP (Objek Penderita, bukan Objek Penelitian)  membeberkan apa yang menjadi rahasia hatinya di bawah pengaruh hipnotis. Ngeh kan apa program TV-nya? (Kalo gak ngeh, ya… itu sih kamunya aja yang gak gaul. :D)
Apa sih yang terpikirkan ketika  melihat hal itu?
Kejujuran, ketelanjangan hati.
Apa perlu sejujur itu menunjukkan apa yang kita rasakan dan pikirkan? Bagiku tidak, itulah mengapa Tuhan menciptakan hati dan akal kepada manusia. Hati untuk mengendapkan setiap masalah dan menimbang baik buruknya hal tersebut. Pikiran untuk mencari dan menciptakan solusi. Ketika dalam keadaan terhipnotis, siapa sih yang ingat untuk tetap sopan dalam memilih kata-kata? Gak ada, kan?  Itu karena apa yang dibicarakan tidak lagi memakai hati dan pikiran. That’s why it is funny to be watched!  Memang terkadang kita harus jujur  agar seseorang dapat berubah lebih baik, memperbaiki  hal jelek dalam dirinya, tapi kita lupa, orang yang sedang kita hadapi juga manusia yang dalam dadanya ada hati yang rapuh.  Aku punya pengalaman yang menarik tentang hal ini.
Pada malam terakhir TPD (Training Pengembangan Diri – sejenis masa bimbingan, sebuah ospek lanjutan) ada sebuah acara yang dinamakan ‘heart-to-heart’.  Dalam acara ini, seluruh mahasiswa tingkat 1 dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil  yang terdiri dari 9-10 orang. Setiap kelompok membentuk lingkaran  dan ada satu orang anggota kelompok  yang  bergantian duduk di tengah-tengahnya untuk ‘dihujani’ ungkapan hati, bisa berupa pujian, ucapan terima kasih, dan yang paling penting, masukan.  Sesi ini begitu melelahkan, sebab kita melakukannya harus dengan punggung yang tegak (layaknya orang meditasi) dan menggunakan hati sepenuhnya. Serius dan tulus itu benar-benar menguras tenaga ternyata!!

Instruktur (kayak senam aja..) selalu mengulang kata-kata yang sama, “ Ketika kalian mengatakan sesuatu pada teman kalian, gunakan hati kalian dan rasakan, itu akan menyakitinya atau tidak”, sembari  menekankan tangannya ke dada sebelah kiri. Terlihat sedikit lebay, ya? Tapi terbukti manjur  lho! Hehe…
Now, focus!! Kembali ke topik kita sebelumnya.
Menjadi jujur itu perlu, TAPI biarkan hati juga memainkan peranannya. Seseorang tidak perlu merasa tersakiti bahkan jika ia harus dikritisi, seseorang tidak perlu merasa dilukai bahkan jika ia harus diberi ‘tamparan’. 

Baby and He

Aku berlari meninggalkan dapur yang penuh dengan barang-barang berserakan. Entah harus bagaimana lagi. Menangis atau marah atas kekacauan siang ini. Samar, pekakan tangis itu terdengar. Sama seperti sebelumnya, dan selalu begitu, menjengkelkan!! Aku berbalik kembali menuju dapur, bersiap melayangkan tatapan paling menakutkan.

" sudahlah. Anak kecil memang begitu." lembut suara itu menghardikku, disusul sepasang tangan kokoh yang merengkuh sosok balita di hadapanku. Aku tak dapat mengatakan apapun saking marahnya. Lelaki itu kini sedang menggendong Rafi, si biang masalah, mencoba meredakan tangisnya yang membuat kepala pening.

" sekarang, kamu bisa benahi ruangan ini. Biar aku yang urus si kecil." dia tak menggubris diamku.

" hhh....", aku mengedarkan pandangan. Dua telur pecah di bawah meja, kulkas yang pintunya terbuka, sampah-sampah organik sisa memasak, pokoknya dapur benar-benar berantakan.

" cobalah pahami dia. Dia sedang dalam masa keemasannya, penuh dengan rasa ingin tahu, sangat aktif. Wajar, bukan?". Dia kembali memberi wejangan yang sama padaku. Rasanya sungguh bosan!

" sulit memahami dan mengingat betul hal itu selama hampir 24 jam." aku menggerutu sembari mengepel lantai yang kotor dan bau amis.


Rafi tampak begitu tenang, tangisnya yang hebat sudah digantikan dengan gumaman manja, dia sesekali tertawa. Kini lelaki itu berjalan menuju pintu belakang, memberikan isyarat aku-akan-mengajaknya-bermain. Aku tersenyum.

Lelaki itu, entah sejak kapan jadi dekat dengan Rafi. Padahal sebelumnya Rafi menolak keberadaannya. Aku ingat, pertama kali dia bertemu dengan Rafi dan tersenyum, Rafi malah menangis ketakutan. Alih-alih digendong, ditanyai olehnya pun, Rafi tidak mau.

***

" kalian dekat sekali! Laiknya ayah dan anak." aku menyambut keduanya di pintu ketika mereka tiba sore hari.

" bagaimanapun, aku memang seorang ayah." helaan nafas itu sekarang terdengar lebih berat. Aku melihat kepedihan di matanya.

" merindukannya?", agak takut aku bertanya demikian.

"sangat! Mungkin karena anakku seumuran dengan Rafi, aku jadi mengganggap Rafi anakku sendiri,..", pelan dia berucap, seolah takut kata-katanya akan menyakiti dirinya sendiri, menyadarkan dia lagi akan sebuah hati yang menjadi satu tambahan alasan untuk dia tetap hidup, putranya.

" temui dia, meski ibunya bukan lagi jadi istri darimu."

" hei, ini tidak semudah yang kamu ucapkan, gadis kecil!!", tawa sumbangnya kini membahana.

" lalu mau sampai kapan menahannya? Setidaknya gadis kecil ini tidak menukarkan rasa lega dengan gengsi yang entah sampai kapan bisa terus dipertahankan?!". Aku meraih Rafi dan meninggalkan duda muda itu sendiri.

" masalahnya tidak sesederhana itu." lelaki itu mendesah, duduk di kursi ruang makan, membelakangiku. Aku tahu ada kepedihan bersarang di dadanya, ada marah berkecamuk di hatinya, ada banyak hal yang dipikirkannya.
Aku hanya bisa berdoa untuknya, untuk pamanku yang begitu mencintai anaknya, untuk seorang lelaki yang begitu merindukan buah hatinya hingga memperlakukan adikku dengan lembutnya. (NNS)