Pages

postingan di akhir tahun......

Well, it has been 1 week since I got home. Pinginnya sih banyak nulis, keluarin ide-ide yang udah mulai berkarat. Ah…. Tetep aja udah gak jalan. Stuck! Menelusuri satu minggu ke blakang, lumayan juga, ada yang bisa diceritakan. Hehe… here it goes…

Neverlasting exams: LIFE!
24 desember 2011


Ini hari yang paling ditunggu setelah hampir….. berapa bulan ya? *nginget tanggal terakhir pulang ke rumah*. Haha…. Sampe gak inget gini kapan terkahir pulang. (parah) kalo gak salah inget sih, sekitar idul adha, trus baru pulang lagi hari ini. *bangga* hehe… biasanya, pas zaman-zamannya semester satu dulu, tiap dua minggu kerjaan pulang terus.




Hummm…. UAS terlewati juga dua hari yang lalu, setelah dua minggu penuh tawa pasrah dan penyakit ketiduran akut. Mulai dari semaleman buat analisis kepribadian Shakespeare pake teori Adler psikoanalisa klasik dan Erikson psikoanalisa kontemporer, sampai bangun-trus-ketiduran baca teori petani desa Redfield buat ujian Antropologi Psikologi. (haha… masih inget juga, gak sia-sia tiga semester di psikologi, ada juga yang nyantol). ^^

Jika ditanya rasanya tiga semester di Psikologi bagaimana rasanya. Aku bakal bilang: SERU!!! Seru dengan teman-teman dan lingkungan psikologi yang menuntut toleransi dan kesadaran yang tinggi sama yang namanya individual differences, seru sama tuntutan keprofesian untuk satu kata yang susahnya bukan main, CARE ( susah dapat padanan bahasa indonesianya, kata ‘peduli’ berbeda dengan ‘care’). Seru dengan kehidupan perkuliahan yang penuh dengan textbook, presentasi, makalah, diskusi, tugas, tugas, tugas…. Dulu sih, pas masih muda (baca:semester awal) nemu satu textbook aja, yaitu Introduction to Psychology-nya Atkinson udah ngiler plus stres, sekarang semua mata kuliah textbook semua. Waaah….. sampe eneg. (katanya biar biasa trus mahir, nah sebelum sampai ke tahap itu, ada tahap yang mesti dilalui dulu: MASA MUAK). Hehe….

Ada tuh satu mata kuliah yang setiap minggunya kejar tayang terus, Psikologi Perkembangan II, isinya mempelajari masa tumbuh kembang remaja (12 – 18an) dan dewasa (21 ke atas). Tiap minggu harus ada ringkasan materi dari satu atau dua bab textbook yang dibuat kelompok dengan jumlah halaman lima halaman. Aku ulangi, LIMA HALAMAN!! Kita biasanya dibuat stres dengan jumlah halaman itu. Gimana caranya halaman berpuluhan lembar itu bisa diringkas jadi lima halaman yang secara ajaib mewakili keseluruhan bab tersebut? Thanks banget buat Ditha, yang sudah dengan rela menumbalkan diri jadi ketua kelompok perkembangan II. Hehe…. Ketua kelompok punya andil besar dalam ‘mengeksekusi’ hasil ringkasan kami, para anggota kelompok, untuk dimasukkan ke dalam makalah lima lembar itu.

Belum lagi kalau sudah ada tugas tambahan, wawancara remaja atau orang dewasa, kalang kabutnya bukan main! Baca satu bab penuh, buat pertanyaan yang berkaitan dengan topik, wawancara, analisis data, bikin PoPo, siap-siap presentasi. Rusuh banget tuh satu minggu! But anyway, setelah bersusah payah dengan mata kuliah ini, dari tujuh bab materi, yang keluar di UAS cuma empat biji soal esai, yang bikin bete bacanya. (bayangin dari tujuh bab yang dibaca dengan berdarah-darah karena ada praktikum statistika 3 pula di hari yang sama, cuma nongol 4 biji soal yang sama sekali tidak representatif!!! Ah, stres mikirinnya). Ya sudahlah. Lupakan. (kebiasaan, abis ujian ogah mikirin lagi). All over, perkuliahan yang satu ini asyik. Asyik aja, karena bisa dapat banyak hal tentang remaja, review masa remaja dulu dan baru ngerti, “o… itu tuh namanya ini ya”, “oohh.. pantesan aku kayak gitu..”, atau “ humm… ada juga ya yang ayak gitu, yaah… kalimat semacam itulah. Trus kalo lagi bahas masa dewasa, kita, mahasiswa, biasanya rada-rada ogah gitu, berasa tua, gak siap, hehe….. tapi menarik, bisa ngerti kenapa pas tua orang bisa jadi sangat bijak (meski gak semua), kenapa orangtua selalu ingat masa kenangannya dulu tapi lupa nyimpen kacamatanya dimana, bagaimana perkembangan emosi dan kognisinya, banyak.

Sekarang udah tengah malem, tapi tangan masih gatel aja ngetik. ya, gak apa-apalah, menyalurkan ketidakberdayaan curhat selama ini (hehehe…). Apa lagi ya, yang mau dibagi? Mungkin ini postingan pertamaku yang berbau psikologi. Entahlah, setelah tiga semester, baru terasa feel-nya jadi anak psikologi. Mungkin awareness aku baru terbangun. Hehe…..

oke, lanjut yukkk…

Setiap mata kuliah selalu membuat priming effect buat aku (juga semua mahasiswa psikologi), Jelasnya, kalau pake bahasa aku, setiap kali mendapat informasi baru, kita berpikir seolah-olah kita sesuai dengan informasi itu. Misal, ketika belajar tentang emosi, biasanya dosen juga memaparkan bagaimana emosi diekspresikan dengan baik, bukan dengan menekan (supresi) atau meluapkannya begitu saja secara intens (katarsis). Aku suka merasa, kayaknya mental aku gak sehat-sehat amat ya. hehe…. atau sedang belajar tentang orang yang terkena personal distress, aku kadang jadi merasa, kayaknya aku lagi stres juga deh. Semakin banyak informasi yang diterima mengenai kesehatan mental, semakin aku merasa aku gak terlalu sehat mental. Hehe… mungkin teman-teman yang lain juga pernah merasakan hal yang sama. Contoh gampang, kalau anak kedokteran sedang (atau telah) belajar penyakit tertentu, kadang suka mengidentifikasi gejala pada tubuh sendiri yang (dikira) sama dengan penyakit itu. Unik, ya, manusia itu?




“ Ketika mencoba memahami, maka tidak akan ada lagi rasa benci atau salah paham.”

Hmm… quote tadi jadi penutup postingan kali ini. Kenapa? Itu yang aku pelajari selama aku di Psikologi, bahwa tingkah laku seseorang bisa saja sama, namun apa yang mendasarinya bisa saja berbeda; bahwa apa yang terlihat tidak selalu sama dengan apa yang ada di dalamnya; bahwa perlakuan yang sama bisa saja menghasilkan respons yang berbeda; bahwa manusia terlalu kompleks dan unik jika hanya untuk dicurigai dan dinilai. Pahami siapapun yang ada di sekelilingmu, siapapun mereka, jangan menghakimi, karena itu akan lebih mudah bagimu untuk hidup, dan lebih membahagiakan. Percayalah!

Salam!!! Oema.

there they are....

Senin sore, setelah berpusing ria dengan soal Kognitif sebanyak 130 butir, aku kembali menekuri blogku. Melihat banyak perubahan dari orang-orang yang menjadi sahabatku sejak SMA. Dan aku sedikit terhenyak karena tidak melihat perubahan itu mekar di sekelilingku langsung, hanya kutahu kabar mereka dari setiap status facebook yang mereka up-date. Rasanya kehilangan. *lebayyy..*




Aku sendiri bingung kali ini aku mau menulis apa, aku juga bingung apa yang seharusnya aku bicarakan. Setelah lama 'mati', aku ingin bangkit, untuk mekar seperti mereka - sahabat-sahabatku. Ada yang mereguk perjuangan menuju mimpinya untuk menjadi guru, ada yang begitu kerasnya berusaha untuk menggambar sketsa yang banyaknya gak ketulungan, ada yang mati-matian bertahan untuk tetap berlari mengejar mimpi, ada yang kini begitu produktif menulis, ah.... teman-teman hebat yang tidak mungkin dilupakan. Mereka semua menamparku, dengan cantiknya mimpi mereka dan lenggok tarian perjuangan mereka. Aku juga sedang berjuang, di sini.Aku juga punya seribu mimpi yang berderet untuk kupeluk.


Hei, teman, terima kasih tamparannya. Aku terlalu sering tersesat. Terima kasih untuk selalu mencariku dan menunggu. Hal-hal indah akan terus kubagi kepadamu, kepada penerbang tanpa sayap. ^^

Kebaikan (dan) Cinta

Bukan tentang kebaikan saja, atau tampilan fisik dan keelokan budi. bukan tentang semua itu. Kebikan. Bukankah setiap dari kita memilikinya? Sama seperti kejahatan yang tersimpan di relung hati. kita mendapatkan keduanya dari sumber yang sama, hanya dalam perjalanan waktu kadar keduanya menjadi berbeda. Namun setiap dari kita memilikinya, percayalah. itulah kupikir mengapa seseorang mampu mencintai seseorang yang berbeda dengannya dalam hal keyakinan, mengapa seorang kristiani dapat menikahi seorang muslim, mengapa mencintai seseorang menjadi begitu mudahnya, mengapa seolah cinta itu membutakan mata.

Bagiku, bukan cintanya yang salah, bukan perasaannya yang keliru, hanya pijakan awalnya yang tidak tepat: KEBAIKAN. Nilai kebaikan ada pada setiap diri manusia, tapi apakah cahaya iman itu mengena di setiap dada? Itu yang berbeda. Sebab keimanan bukan hanya tentang kebaikan, bukan hanya meyakini ada Tuhan di balik semua kejadian, bukan hanya ritual penghambaan. Dan cinta? dia cuma jadi alasan untuk pembenaran, alat yang dimotori sepenuhnya oleh pijakan awal kita. Kebaikan? bukan acuan yang tepat, tapi keimanan akan merangkum segala rahmat yang bertebaran....

Elegi Februari

" Kamu sudah menggunakan kesempatanmu yang sembilan belas tahun." suara itu terdengar parau, seperti yang biasa kudengar. Suara yang hampir sulit dilupakan selama bermusim-musim. Aku menoleh, tidak sulit mencarinya di tengah hutan ini, karena dia bercahaya (lagi-lagi) seperti biasa. Dia berayun di dahan willow yang besar, menatapku.

" ah...kamu ingat juga rupanya." aku tersenyum kecil. Mengingat tahun-tahun sebelumnya, ritual yang sama. Mungkin bukan karena dia ingat, tapi memang sudah menjadi kebiasaan.

" seperti yang lain, aku ingat hari ini." Dia melompat dari dahan, berbaring di karpet ilalang yang basah.

" ya, seperti yang lain...", aku tertawa ringkih. "kupikir kamu tidak ingat, itu lebih mudah bagiku.."

" hmm... Aku tahu. Sepertinya kamu bersungguh-sungguh melupakanku."

" Aku hanya harus melakukannya..". Diam menyusul pembicaraan kami. Hening yang kusuka, diam yang membuatku sanggup mengurai kata. Ah... Sudah sangat lama aku menikam senyap dengan untaian kata tak indah milikku, untuk sekadar mengganti nama yang tak bisa kusebut.

" Kamu senang melakukan ini?", wajahnya tampak tak mengerti. Sejujurnya, aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini.

" aku tidak tahu. Hanya saja lega. Sudah lama aku tidak menghirup kebebasan ini...".

" kenapa? Apa karena begitu menyesakkan memandangku? Apa karena aku tidak juga memastikan?", hijaunya meredup. Indah sekali, sama menawannya ketika ia berbinar.

" Aku hanya harus melakukannya. Tidak serumit yang kamu bayangkan."

" benarkah?"

"benar." kulirik ia dengan ekor mata. Dia sudah menghilang, bersama seluruh cahaya kunang. Tak ada yang tersisa. Semoga. Sepercik air berpenjar... Biarlah. Waktu yang akan mengurus sisanya.


Jatinangor, 7 Februari 2011

Catatan Kecil Sawiyya

" Kumandangkan pernikahan … dan rahasiakan peminangan”
(HR. Ummu Salamah r.a.)"

Entah kenapa kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Merahasiakan pinangan… Mengapa? Aku terpekur. Pinangan adalah saat yang menggembirakan, apalagi bagi para penanti setia yang sudah berada di batas kesabarannya. Merahasiakannya mungkin sulit dilakukan, bukan? Namun, di sinilah aku melihat betapa indahnya islam. Apa yang dimaksud? Suatu bentuk penjagaan hati dan perasaan. Pinangan tak berarti fix untuk menikah. Pinangan adalah jalan meunju ke sana. Syukur-syukur jika setelah peminangan disiarkan dengan ramai, pernikahan akhirnya terlaksana. Kalau tidak? Bagi pria (mungkin) itu bukan masalah besar, tapi bagi wanita?

Bicara wanita memang selalu terdengar ribet, dari mulai pakaian sampai hal-hal kecil lainnya. Eiiitss… Jangan dulu ngedumel, justru di situ letak keistimewaannya. Wanita dalah makhluk yang dibuat sedemikian halus namun kuat. Nah, kembali ke masalah pinangan. Setelah pinangan itu tidak berbuah pernikahan, sakit hatikah si wanita? Sedikitnya ada kekecewaan, tapi (masih) bisa dikelola. Yang jadi masalah adalah apa yang dikatakan orang lain tentangnya? Aku rasa, itulah yang membuat seorang wanita terluka. Tidak peduli si peminang itu dicintainya atau tidak, perkataan orang tentang bagaimana pernikahan bisa batal, kira-kira apa yang menyebabkan batalnya dan sebagainya – gunjingan murahan – mampu memporakporandakan hatinya. -__- lebay… Dan islam mengantisipasi adanya kemungkinan itu.

Hmm… pinangan aja dianjurkan dirahasiakan, apalagi kalo kamu (para cowok ) hanya merasakan letupan-letupan kecil di hatimu, dalam kata lain, kamu HANYA menyukai seseorang. Kebayang gak, kamu sudah gembor-gembor kepada teman-temanmu, “si A tuh target aku lho..”, “eh, dia itu calon aku..” dan omongan sejenisnya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sementara usiamu masih belia, terus akhirnya kamu sadar yang kamu rasakan hanyalah gejolak masa muda yang lewat begitu saja… Mending kalau si korban gak suka sama kamu, paling dia makin eneg aja dengan omong besarmu. Kalo dia juga ternyata ada hati? Celakalah kamu, para cowok… kamu benar-benar sudah zhalim!! Lagipula teman, rasa suka itu perlu dipertanggungjawabkan, jadi TIDAK MUDAH untuk menyukai seseorang. Jangan menyukai seseorang dengan caramu, tapi lakukan hal itu dengan ILMU!!!

Terinspirasi dari pengamatan selama SMA, sungguh tidak dapat dibilang sedikit aktivis tergoda dengan sebuah bayangan indah tentang cinta, tapi mereka sudah mengetahui betul apa yang terlarang untuk mereka lakukan, muncullah khitbah-khitbah semu, hasil perpaduan sempurna antara ketidakmatangan ilmu dan kekurangdewasaan jiwa. Semoga menjadi pelajaran, jargon ‘semua indah pada waktunya’ harus bisa direalisasikan, bukan hanya omongan manis di setiap obrolan ringan.



Agak aneh memang, tulisan aku yang sekarang.Mungkin ada pengaruh kuat dari sahabat yang sedang menanti masa pernikahan.hoho... ^o^ dan sekadar rasa prihatin, untuk cinta yang mudah terucap dari bibir ikhwan yang katanya hanif...

Teman Separuh Perjalanan

Sepanjang perjalanan, tempat duduk di sampingku kosong. Sementara bis ini terus melaju dengan lembut, seperti alunan Pavane yang digubah Faure. Aku terkantuk-kantuk dengan ransel besar yang menjadi alas kedua tanganku, kepalaku bersandar di jendela bis, memperhatikan gerak semu pepohonan.Saat itulah dia datang..

Seorang gadis bercelana jeans duduk di sampingku, aku menggeser sedikit badanku agar dia lebih leluasa. Aku kembali merebahkan tubuhku ke samping jendela, bersiap meneruskan pengamatan, mencoba menemukan hal menarik yang terjadi di luar sana.


" Teteh mau ke Sukabumi?", pelan suara itu terdengar, namun cukup membuatku menoleh. Kujawab dia dengan anggukan. Senyumku akhirnya mengembang, entah kenapa.

" Dari mana, Teh?", keantusiasannya bukan hal yang dibuat-buat. matanya berbinar. Aku memutuskan meninggalkan pengamatanku.

" dari Bandung."

" Kuliah, ya? Kakakku juga kuliah lho di Bandung." Suaranya semakin terdengar gembira. baru kali ini aku bertemu dengan orang seramah dia.

" Iya. Ngambil jurusan apa, kakakmu?".

" PKn. nanti dia jadi guru." Aku mengangguk, tersenyum lagi. dia tampak seperti adikku meski perawakannya lebih tinggi dan kurus.

" Kamu masih sekolah? Kelas berapa?", kucoba memastikannya.

" harusnya sih kalau sekolah aku SMA kelas XI! Aku tidak berminat sekolah.. Sekarang aja kursus komputer dan bahasa inggris. itu juga hasil paksaan...", suaranya sekarang terdengar lebih lepas. Dia tertawa. Aku terperangah, tak mengerti maksud dari tawanya.

"Oh....", sejenak aku terdiam. " Kenapa? Sekolahnya gak sesuai dengan yang kamu mau?". Suaraku sedikit tertahan, takut menyinggungnya.

" Bisa dibilang begitu sih.. tapi memang aku yang sudah gak mau mikir-mikir pelajaran lagi. Bosan!". tawanya membahana lagi. Aku semakin tidak mengerti. Entah kenapa aku merasa ada yang salah, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan.

" Mau pergi ke daerah mana?".

" Cisaat. Ketemu sama tunangan. Dia lagi sakit. akhir-akhir ini sepertinya dia kecapekan.. Aku sama dia udah lama, sejak aku SMP................". dia begitu bersemangat menceritakan lelaki yang sudah dikenalnya selama empat tahun itu. Aku menatap matanya, mencari sesuatu, meski aku tidak tahu apa.

" wah...selamat ya! kapan nih nikahnya?". Apa karena telah menemukan seseorang yang tepat, tidak ada lagi yang dipikirkan selain tentangnya? Aku tidak bisa mengambil simpulan seperti itu tanpa tahu siapa gadis ini sebenarnya. Haruskah ini dilanjutkan?

" tahun depan. mungkin." Aku mengangguk. Pembicaraan kami banyak didominasi olehnya, dia menceritakan banyak hal tentang dirinya seperti kami sudah kenal lama. Aku hanya sesekali mengangguk, tertawa, atau menimpali.

" di rumah dekat sama siapa?". tanya yang sedari tadi berputar di kepalaku terlontar juga keluar. aku memperhatikan wajahnya, lagi-lagi mencari seraut tanda. Dia tertawa. Aku tidak mengerti, dia suka sekali tertawa, tapi tawanya berbeda-beda dan aku tidak mampu menangkap maksudnya.

" Ayah meninggal ketika aku kecil, dia jatuh dari lantai tiga. makanya sekarang ibu juga pergi...". Aku tercekat. Tak terlihat getir di matanya, wajahnya tak menegang, tapi aku semakin tidak mengerti tawanya kali ini.Setelah itu dia mulai bercerita tentang keluarganya. Aku bahkan tahu bagaimana muka adiknya, bagaimana hubungannya dengan neneknya, apa yang terjadi dengan pamannya. Cara bicaranya cepat, seolah-olah tak ada waktu lagi untuk mengatakan semuanya.


****

" Aku Nining, siapa namamu?", kuulurkan tanganku. Pertemuan kita mungkin tidak berakhir di sini. Kuyakinkan hal itu sekarang.

" Nisya..", begitu dia mengucapkannya. Tapi bukan Nisya, melainkan Nisa. Segera kuketahui hal itu ketika melihat namanya yang tertera di layar ponsel yang dia tunjukkan padaku.

" Semoga kita bertemu lagi.." Dia tersenyum. Aku membalas senyumnya seraya mengamini dalam hati. aku tidak tahu mengapa aku melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya; meminta nomor ponsel dari orang yang tidak kukenal. Aku hanya merasa harus melakukannya.... tanpa alasan yang jelas, dan hatiku membenarkannya.






Sukabumi, 17 Januari 2011