Pages

ENTITAS TUHAN DALAM SPIRITUALITAS

13.36 WIB aku memasuki kelas dengan bimbang. perkuliahan klinis sudah berlangsung sekitar 30 menit, dan aku baru saja menyelesaikan bimbinganku mengenai usulan penelitian untuk Metode Penelitian. Kepalaku berdenyut, perpaduan antara perut yang tidak sempat kuisi karena jam istirahat dipakai untuk bimbingan, cuaca yang panas, dan bahasan klinis mengenai intervensi gangguan jiwa. Aku sebenarnya tidak suka terlambat, untuk alasan apapun. Namun dibanding harus melewatkan kuliah klinis kali ini, aku pikir rasa maluku harus diabaikan. Aku duduk di kursi kedua dari belakang karena menghindari tatapan mata mahasiswa lain yang mendapatiku terlambat masuk kuliah, dosen memang tidak menegur, namun rasa bersalahku dan maluku sudah cukup membuat aku tidak enak hati. hmm... bahasan kali ini agak membuatku 'panas hati'.haha... Intervensi psikologis terbagi ke dalam 5 kategori, ada psikoanalisis-psikodinamis, fenomenologis-humanistik, Terapi Perilaku, Terapi kelompok, dan terapi keagamaan. 4 kategori sebelumnya akan aku lewatkan, tapi aku mendengar pandangan yang unik mengenai kategori kelima. Yep, terapi keagamaan. Kenapa? di zaman serba canggih dan menjunjung intelektualitas ini, rasanya bahasan soal agama masih jadi hal tabu yang tampak jauh dari peradaban intelektualitas, seolah tak ada kesinambungan antara agama dan intelektualitas, seolah orang agamis pasti tak terlalu 'pintar', atau tampaknya penghambaan diri pun menjadi tidak mampu dijelaskan secara ilmiah. Well, bagaimana tidak? mendengar bahasan mengenai terapi ini rasanya lucu. Alternatif kelima ini menjadi hal terakhir yang biasa dipilih ketika intervensi lain tampak tidak mampu mengubah tingkah laku. Bagiku terdengar seperti religiusitas adalah hal terakhir yang bisa diandalkan ketika hal lain tak mampu dijadikan solusi. hei, bukankah sejak awal 'agama' adalah solusi? Dan yang membuatku ingin terbahak adalah ada anggapan bahwa mendengarkan 'ceramah' ulama sama berkhasiatnya dengan pengakuan dosa seorang kristiani. Tuhan itu satu, kepercayaannya saja yang berbeda. begitu katanya. Ah... aku tidak tahu bagaimana. namun bagiku, bahkan tak ada satu teori pun tentang manusia yang akan bisa menjelaskan manusia seutuhnya seperti pada Al Quran. Setiap teori hanya melihat manusia dari segi tertentu, pada aspek tertentu. Contohnya, pada psikoanalisa, manusia digambarkan berperilaku dengan didorong insting yang ada dalam dirinya. bahkan pada teori Freud yang klasik itu, insting yang paling berpengaruh hanyalah libido (insting seks). Memang, pada diri manusia ada nafsu tersebut, di al Quran pun nafsu itu disebutkan, namun apa lantas manusia hanya dimotori oleh nafsu itu saja? Makanya kadang aku juga heran, pada orang yang (maaf) ngebet nikah untuk alasan mencari pemenuhan nafsu dengan cara yang halal. Bagiku itu tidak cukup untuk menjadi alasan untuk menikah. Jika hanya karena nafsu, apa bedanya kita dengan binatang ternak? Cobalah melek dan lihat secara lebih mendalam. Bahkan orang barat pun melakukan pernikahan untuk hal yang sama, bukan? hmm... Kalau behavioristik berbeda lagi. Pada teorinya, manusia bertingkah laku karena didorong, diarahkan, dibentuk oleh lingkungannya. Watson sendiri pernah sesumbar bahwa jika dia diberikan satu lusin pemuda, dia akan mampu mengubah pemuda itu untuk menjadi seorang insinyur, sampai penjahat sekalipun. memang tidak sepenuhnya salah, manusia akan berbenturan dengan lingkungannya dan mengikuti tuntutan dari lingkungan. Namun apakah manusia sepenuhnya digerakkan lingkungan? Pengondisian dengan melalui reward dan punishment adalah salah satu teknik untuk membentuk perilaku. Tampak wah sekali mendengarnya, tapi bukankah Allah juga sudah memberi kita peringatan dan kabar gembira lewat firmanNya yang tersusun rapi dalam Al Quran? Betapa Dia memahami betapa manusia membutuhkan keduanya untuk hidup dalam penghambaan. Omong kosong jika spiritualitas diangap penghambaan tanpa logika. Bahkan wahyu pertama pun menyeru kita untuk membaca, secara konotasi maupun denotasi. Hanya saja kini spiritualitas menjadi terputus dengan kegiatan keseharian, seolah memahami teori pembelajaran bukan bentuk dari spiritualitas, seolah main dengan teman bukan wujud dari spiritualitas, seolah tak pernah ada celah bagi sisi spiritual untuk bersandingan dengan intelektual: seolah SPIRITUALITAS adalah KETERBELAKANGAN. Sebetulnya banyak hal yang mengganggu pikiranku mengenai ini, tapi biar itu jadi topik tersendiri yang aku tulis lain kali. terakhir, aku akan menuliskan apa yang aku coretkan ketika perkuliahan siang tadi berlangsung:
" Ketika Agama didangkalkan hanya sebatas kepercayaan, Ketika perbedaan kepercayaan disusutkan dengan suatu entitas tentang Tuhan yang berbeda nama saja, Ketika spiritualitas digunakan untuk merujuk pada rasa kemanusiaan universal Sungguh manusia sudah terlalu sombong, bahkan hanya untuk sekadar mengakuiNya dan disandangkanlah kekuatan seta misteri semesta pada sesuatu tanpa nama Sesuatu yang agung yang disembah tanpa tata cara. Jika bertemu dengan pemilik rumah saja harus begitu bertata krama, Mengapa menemuiNya begitu bebas sesuka hati saja? bebas dengan nama apapun, bebas mau melihat sifatNya yang mana bebas mau dengan cara apa Logika berpikir yang entah bagaimana, kebodohan brilian yang dikultuskan tepat ketika manusia menjunjung tinggi akalnya."
2 Mei 2013 Ruang Kuliah A - Fakultas psikologi Universitas Padjadjaran Jatinangor - Nirma Yawisa

Di Balik Manglayang Makna itu Kusingkap


 DI BALIK MANGLAYANG, MAKNA ITU KUSINGKAP

Badan rasanya remuk, seluruh persendian sakit, telapak kaki mengelupas, dan tangan tergores di sana-sini. Entah itu efek normal dari pasca-pendakian, atau itu efek yang cuma terasa oleh pemula seperti aku. Secara teoretis maupun praktis, aku tidak berpengalaman naik-turun gunung. Dan entah kelewat nekat atau bodoh aku mengiyakan saja ajakan adik kelasku untuk naik gunung Manglayang – tanpa latihan fisik, tanpa pengetahuan survival! Wah… cari mati emang… *geli sendiri* haha..

Kenapa aku mau? Yah, katakan ini adalah salah satu terapi yang aku rancang sendiri untuk mengalahkan ketakutan dan ketidakpercayaan diriku. Juga membuat warna dari pengalamanku beraneka. Aku terlalu banyak terdiam di wilayah para akademisi yang tertegun pada landasan teoretis dan memperdebatkan data-data yang ada. Sudah cukup bicara dengan mereka yang bolak-balik ke luar negeri, menang lomba sana-sini,  diskusi teori psikologi tanpa pernah lihat kenyataan yang ada. Sudah saatnya lihat dunia yang sebenarnya, yang tak pernah bisa tergambar dari teori. Teori adalah idealismenya, tapi kenyataan tak pernah ada yang ideal. 

ISLAMI GAK GAUL atau GAUL GAK ISLAMI?


ISLAMI GAK GAUL atau GAUL GAK ISLAMI?

Habis membaca suatu artikel mengenai fenomena remaja saat ini yang gaul dan bagaimana reaksi mereka terhadap islam. Digambarkan bahwa remaja saat ini begitu gandrung dengan mode yang sedang happening, mengikuti berbagai hot issue berbau fashion, gaya, dan entertainment; berpakaian dengan merk-merk mahal, nongkrong saban hari di starbuck, atau paling tidak di Circle K. Di sisi lain, digambarkan juga bahwa mereka antipati terhadap indentitas mereka sebagai muslim, yang berpakaian seadanya (asal nyaman), hobinya ngaji, dan tongkrongannya mesjid. Please deh!

Entah, mengapa gaul dan islami menjadi hal yang tampak bertolak belakang? Apakah seseorang yang islami tidak boleh gaul, ataukah orang gaul yang tidak bisa islami? Picik. Islam saat ini sudah menjadi barang langka, lalu mengapa tidak kita membumikannya dengan sesuatu yang dapat diterima secara luas, bahkan oleh orang-orang gaul sekalipun? Islam saat ini tidak boleh kehilangan identitasnya, namun juga tidak berarti jadi sesuatu yang kuno, yang gak up date, yang gak zaman. Biarlah islam dibalut dengan secantik-cantiknya kemasan, namun tidak kehilangan esensinya. Bukan berarti jadi seorang yang liberalis, yang menganggap segalanya serba permisif. Bukan berarti jadi seorang yang humanis, yang melihat manusia begitu bebas, dan kemudian menganggap kebenaran menjadi sesuatu yang individual dan personal. Hanya soal kemasan saja. Makanan yang dibungkus dengan cantik akan punya nilai jual lebih dibanding makanan dengan bungkus polos seadanya. Dan begitupun kebenaran, kebenaran yang cantik akan menarik banyak peminat, kebenaran yang dikemas secara kasar bahkan menyakitkan hanya akan berbuah fitnah.

Islam adalah sesuatu yang mendasar, mengakar, fundamental; namun tidak berarti islam menjadi kehilangan daya tarik. Mari membumikan al qur’an tanpa harus terkurung dalam mesjid atau petakan kamar kost yang sempit. Mengapa tidak kita buat mall-mall, food court, cafĂ©, dan tempat nongkrong lain menjadi majelis-majelis cahaya yang membahas perjalanan besar pembangun peradaban Qurani? Mengapa tidak kita buat islam begitu merakyat sehingga tidak perlu semua orang memahami jargon-jargon yang njelimet tentang sistem, liberalisme, kapitalisme, konspirasi, perang ideologi, dan setumpuk kosa kata yang bahkan mahasiswa pun belum tentu mengerti maksudnya apa. Mengapa tidak kita buat perbincangan al Haq begitu berwarna dengan hikmah, wawasan yang menyamudera, dan keilmiahan. Mengapa tidak kita buat islam sebagai cara hidup yang dinamis namun kokoh mengikat? 

Jika kembali pada sejarah, kita juga akan menemukan, kebenaran dibumikan tidak pada satu kalangan saja, sehingga penyebarannya pun punya banyak cara. Bagaimana seorang Mush’ab bin Umair yang dikisahkan sebagai seorang borjuis, yang penampilannya begitu perlente dan wangi, yang didambai wanita-wanita Mekkah, kemudian menjadi diplomat yang diutus ke Yastrib untuk membumikan Al Qur’an di sana? Apakah kita masih membayangkan pembinaan bagi Mush’ab seperti mentoringan biasa? Pikirkan bagaimana Mush’ab tumbuh di kalangannya yang terpandang, pikirkan bagaimana gaya hidup Mush’ab yang serba ada. Merupakan hal yang bodoh memakai cara yang sama untuk semua kalangan, yang jelas-jelas berbeda. jadi? Biarkan islam dan kosa kata ‘gaul’ bukan jadi hal yang berseberangan, namun beriringan. 
  

My Cikapundung's Stories.. #1

Aku menelan ludahku, merasa bahwa aku berada di tempat yang salah. Otot-otot wajahku menegang, sulit sekali untuk tersenyum lebar. Lututku gemetar, melangkah satu dua saja rasanya susah. Tanganku gemetar, tak sanggup mengambil fokus pada ponsel yang kupakai untuk memotret. Tidak. Aku tidak menyesal, hanya merasa ini adalah kesempatan yang jarang datang padaku, kesempatan yang menantang bagian dari diriku yang pengecut dan lemah. Aku menatap salah seorang di antara mereka dan mendengar sekali lagi kata itu: RAFTING!!!!

Kalapa, 27 Januari 2013

Perbincangan semalam dengan Nurdin akhirnya membuahkan satu keputusan untuk pergi ke daerah Banceuy (lagi), melakukan observasi sepanjang aliran sungai Cikapundung, sebelum menjalankan Program ARUS di Kecamatan tersebut. Aku sudah mengontak ketua divisi lain untuk pergi bersamaku, namun keduanya sudah memiliki jadwal yang lebih penting untuk didahulukan. Pasukan yang datang hanya 4 orang, dengan komposisi: Aku, Haryo, Nurdin, dan Yusuf. 


Setelah membuat ketiga adik tadi (Haryo, Nurdin, Yusuf) menungguku selama kurang lebih 10 menit di Kantor Pos Indonesia daerah Banceuy, aku berjalan kaki dengan mereka menuju RT 2 RW 7, Kecamatan Sumur, Banceuy. Sebetulnya aku hanya tahu hari ini aku akan jalan-jalan di sepanjang bantaran sungai Cikapundung dari Nurdin. Detailnya, I’m totally blank! Haryo yang kebagian mandat untuk mengatur pertemuan beserta konten acaranya. Tiba di sana aku mulai mencium hal yang tidak beres, sebagian orang tampak sibuk mengumpulkan baju pelampung, sebagian yang lain mengurusi perahu karet (belakangan aku tahu, namanya Inflatable Raft). Aku bengong. Ini mau jalan-jalan, kan ya?

Januari Dua di Balik Jendela


Bismillah....

Malam masih terlalu awal jika kubilang temaram, aku terdesak oleh kerinduan yang sangat. untuk menulis, menulis semua yang kupikirkan. Berkecamuk. Membadai. Semoga cukup berharga untuk dibaca, dan berbobot untuk dicerna.

Banyak orang punya mimpi, sedikit sekali yang membuatnya realistis dan tercapai. Termasuk aku. Aku selalu sesumbar, aku suka sastra, aku suka menulis, aku ingin punya buku, aku ingin ini, aku ingin itu. tapi hasilnya? rasanya hampir nihil, yang kulakukan cuma menulis dengan seadanya, seingatnya, semaunya, sebisanya, sesukanya. Terkadang di halaman Diary, di balik textbook yang lelah kubaca, di balik lembar soal yang sudah bosan kutatapi, di sela waktu ujian, di sela kebosanan menunggu damri, di sela kesepian. Aku sangat suka menulis sampai lupa untuk bersungguh di dalamnya. Saking sukanya, aku bisa melakukannya di manapun, kapanpun, tanpa beban. Ya, itu adalah passion terbesar dalam hidupku. Namun, rasanya jadi sebatas passion yang tidak aku perjuangkan.

Kenapa terpikir begitu? yaah... kulihat beberapa orang teman mulai terlihat berbinar dengan gairahnya. Ada yang suka public speaking, lalu jadi pembicara ulung. Ada yang suka menulis, lalu jadi member tetap suatu komunitas penulis, ikut berbagai lomba kepenulisan. Ada yang suka desain kaus, lalu dia berhasil membuat suatu brand pakaian dengan namanya. Itu mungkin adalah passion mereka. Bagaimana dengan aku? Aku masih tetap seperti ini. Menulis sesukanya di manapun, mem-publish'nya ke jejaring sosial, blog, dan tumbler-ku. Apa tampak begitu hopeless? Aku juga tidak tahu. haha... sudah ada 460 catatan di sini. Aku ingin sekali bilang, itu pembuktianku atas besarnya kecintaanku pada menulis. Namun sebatas itukah pembuktiannya? Sebatas aktif menulis via notes facebook?

Aku bukannya gila eksistensi. Cuma terkadang timbul rasa iri, melihat orang-orang besar di luar sana. Hmm.... terlalu picik rasanya kalau melihat kesuksesan dari karya eksis yang ada di masyarakat luas. Aku yang terlalu keras dan idealis dengan pemikiranku, mungkin punya kesempatan lebih kecil untuk bisa diterima. Bagiku, menulis ada ilmunya, meski aku melakukan sesukanya. 2011 adalah awal titik balik dari gaya kepenulisanku - kalau ada yang menyadarinya. Tulisan adalah obor yang akan meminjamkan binarnya pada siapapun yang membacanya, maka tak pernah bisa kutulis hal sampah busuk yang cuma bisa jadi racun.

Aku berharap, binar itu cukup bisa jadi secercah harap untuk menjalani hidup lebih baik. Aku ingin meminjamkan kedua tanganku untuk memeluk siapapun yang butuh dikuatkan. Aku ingin meminjam kedua bahuku untuk membiarkan siapapun sadar dia tidak pernah sendirian. Aku ingin meminjamkan apapun yang bisa kuusahakan untuk menolong orang lain. Tapi nyatanya, kalau melihat watakku. Banyak orang tidak percaya aku punya niat begitu. :) Antara menjadi penulis dan psikolog, aku merasa aku harus menjadi orang yang lebih punya jiwa yang besar. Aku yang sekarang, tidak pernah cukup pantas untuk menyandang keduanya. Aku bisa begitu sarkastik dengan permainan kataku ketika aku sedang berusaha menguatkan seseorang. Aku bisa begitu marah saat mengetahui orang-orang yang aku sayangi melakukan hal yang kami bilang terlarang.

Aku ingat, seorang sahabat pernah bilang, perjalananku untuk jadi seorang psikolog masih sangat panjang kalau mengingat sikapku. Aku sadar, saat itu aku berkata kasar padanya saking sayang dan kecewanya. Ya, dia benar. Aku juga tidak siap untuk jadi seorang psikolog, atau penulis. Tapi kalau tidak dilatih bagaimana bisa? Bukan cuma kemampuan dan skill yang perlu diasah. Empati, kesabaran, pengelolaan emosi, asertivitas, kebijaksanaan, juga sama. Harus diasah. Setiap orang punya potensi yang sama untuk bisa jadi setangguh Umar, selihay Amr bin Ash, se-tasdik Abu Bakar, sekokoh Bilal, seceria Ali, secerdas Salman, dan sedermawan Utsman. Aku tidak akan menemukan kesabaran kalau kerjaku cuma membaca textbook tebal-tebal. Aku tidak akan menemukan empati kalau aku tidak mau meluangkan waktu untuk membuka mata selebar-lebarnya dan menerima tanpa banyak bicara semua yang aku lihat di kesemrawutan yang ada. Aku tidak akan menemukan komunikasi asertif kalau aku menutup diriku dari orang lain. BERGAUL. Aku cukup paham mengapa semua manusia diharuskan untuk menjalin relasi. Tidak semua hal dapat kita temukan di buku. Teori yang seabrek banyaknya itu tidak berguna kalau kita buta dengan keadaan. APAPUN PROFESINYA.

Aku sedang belajar, untuk bersungguh-sungguh membuka mata. Tidak mudah untuk jadi seorang penulis dan psikolog, kalau rasa itu tidak peka. Tidak pernah mudah untuk jadi apapun di dunia ini, kalau afeksi itu buta.

Jatinangor, 2 januari 2013