Pages

First Impression of Jeddah

Going abroad! Walau terdengar norak, aku tetap harus mengakui, ini pertama kalinya aku pergi ke luar negeri. Plus pertama kalinya juga naik pesawat. Hahahaha... Entah bagaimana meski keluargaku tukang jalan-jalan, aku sebagai anak pertama tidak pernah merasakan liburan keluarga, baik piknik di daerah jawa, ataupun liburan ke luar kota. Hiks.. beberapa kali melewatkan kesempatan. Saat orang serumah heboh snorkelling di Belitong, aku di Bandung mengurus proyek komunitas. Saat orangtua mengajak umrah, aku masih juga di Bandung. Pokoknya liburanku cuma kalau lebaran aja ditambah tahun baru. Di Sukabumi, Bandung Barat, atau Bogor.

Setelah menikah, Masya Allah.... karena mendampingi suami, setiap proyek maupun acara komunitas harus seizin suami, dan tentunya gak terlalu berurusan lebih dalam sehingga waktuku sebagian besarnya bersama suami. Feel so weird, mungkin iya. Apalagi biasanya aku memutuskan apa-apa sendiri. Kalau sekarang, ada teman diskusi, ada teman berbagi, ada yang berhak memberikan keputusan. Termasuk juga urusan ke Jeddah yang satu ini.

Bulan lalu, suami dapat tawaran untuk menghadiri acara di KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) Jeddah. Aku awalnya mengira, seperti biasa, aku akan ditinggal di rumah dan menjalani me-time yang awalnya menyenangkan tapi semakin gloomy karena kangen. hahaha... Tapi ternyata kali ini, aku diajak juga! Yeayyy. Yang bikin senang bukan soal pergi ke luar negeri berdua, tapiiii kami juga dapat kesempatan untuk menjalankan ibadah umrah. Huhuhu.. pingin nangis saking gak nyangkanya.

Skip urusan passpor yang menguras energi dan duit. Akhirnya kami sampai di Jeddah setelah transit di Dubai selama 5 jam. Pengalamanku yang gak enak dengan orang imigrasi saat pembuatan passpor seperti terulang. Setelah wawancara super menyebalkan karena dikira aku TKW yang mau ngakalin imigrasi, aku mengalami hal yang kurang enak juga setelah sampai di Jeddah. Setelah landing, kembali ada pengecekan passpor. Suami dan managernya (yang keduanya laki2) dengan lancar dan mudah melalui pihak imigrasi tanpa pertanyaan ataupun perubahan raut muka. Aku? Setelah berkali-kali ditolak, disuruh balik lagi, ketemu lagi, geleng-geleng, dan berbagai ekspresi wajah yang mengesalkan. Sambutan yang sangat sangat sangat tidak ramah. Apa sih yang salah dengan perempuan?

Dan... selama perjalanan menuju Wisma KJRI di jalan Andalus, kami berbincang dengan Pak Dian, yang menjemput kita, soal Jeddah secara garis besar. Baik kultur, maupun politik. Baru-baru ini Jeddah mengeluarkan izin bagi perempuan untuk menyetir. Sekarang, perempuan pun bisa bekerja di kantor. Which means.. sebelumnya Jeddah melarang keras perempuan untuk bekerja di luar rumah, mereka juga gak boleh nyetir di jalan. Mungkin terkait juga sih dengan larangan perempuan untuk bepergian sendirian tanpa mahram. Kenapa? Takutnya kena pelecehan!

Hal-hal tadi bikin aku jadi somewhat scary, sekaligus berpikir soal pandangan orang-orang di luar sana soal islam yang mendiskriminasi perempuan. Mereka berpikir bahwa islam merendahkan perempuan dan mengurung perempuan sehingga tidak bisa berkarya, mereka mengaitkan itu degan kewajiban hijab, kebolehan istri dipoligami, dan hak waris yang berbeda dibanding laki-laki. Menurutku sih, bukan sepenuhnya salah mereka juga. Timur Tengah yang dipandang sebagai negara islam tentu jadi sorotan. Banyaknya kasus pelecehan pada perempuan, tenaga kerja wanita yang dianiaya, seolah bertolak belakang secara ironis dengan bagaimana perempuan terbatas untuk ada di ruang publik karena harus berperan sebagai qonith (mengurus rumah dan menjaga kehormatan keluarga). Islam dipandang tak menjunjung kesetaraan gender karena potret muslim atau negara muslim sama sekali tidak 'ramah' pada perempuan.

Aku perempuan muslim, memakai kerudung, dan menjaga kehormatan diriku maupun suami. Tapi melihat pertama kalinya Jeddah, dan cerita yang kudapat dari shelter, membuatku berpikir, betapa islam dikambinghitamkan untuk setiap kesalahan yang dilakukan pemeluknya. Ketika perempuan dianggap seolah makhluk kelas dua, yang dicurigai, sekaligus juga dijadikan sasaran birahi, maka bukan salah orang di luar sana untuk menghubungkan setiap hal yang melekat pada diri seorang muslim pada islam (poligami, abaya, hijab dsb), lalu mengarah pada kesimpulan islam tidak menghargai perempuan.

Islam memang tidak butuh dicitrakan, karena islam adalah jalan hidup tuntunan Illahi. Tapi perilaku pemeluknya akan sangat menentukan bagaimana orang di luar sana yang tidak memahami islam melihat islam. Islam memuliakan perempuan. Islam bahkan memandang mahal seorang perempuan, hingga ketka wafat pun, mayat seorang perempuan muslim harus dilapisi kafan sebanyak tujuh lapis! Islam tidak pernah melarang perempuan untuk berkarya, sejarah banyak menceritakan kisah-kisah heroik perempuan, seperti Nusaibah yang menjadi prajurit perang, Aisyah yang menuturkan keseharian Rasulullah dalam hadits, dsb.

Islam tidak butuh dicitrakan, tapi kita butuh Islam sebagai jalan hidup terbaik. jalan hidup yang menyelamatkan. Jalan hidup sempurna yang mengantarkan kita pada surgaNya. Jadi sudahkah islam itu tercitra pada diri kita?



Jeddah, 12 Oktober 2018




Somewhere to Think

Beberapa orang sulit bahkan untuk sekadar mengingat jadwal penting yang jauh jauh hari dicantumkan. Beberapa orang sulit untuk sekadar membaca penjelasan, lalu tergesa-gesa bertanya. Sungguh melelahkan... Apa generasi Z sebegitu sulitnya berusaha? Sudah beberapa kali, meski loncatan generasi kami berurutan.. Seorang dari zaman Y sepertiku tetap saja kelabakan menghadapi generasi setelahku. Guess why.

Dan menjadi orangtua? Wah... betapa luar biasanya hal itu. Akan ada perbedaan generasi yang cukup jauh. Dulu kupikir itu cuma alasan penganut faster marriage (kebelet kawin) saja yang selalu bilang bahwa lebih mudah kalau nikah muda. Sebab akan punya baby di usia yang relatif muda juga, which means... lebih mudah berinteraksi. Lebih mudah berkomunikasi. But.. aku akui sekarang, menghadapi adikku saja luar biasa pusingnya. Jadi, memang beralasan ya. Hehehe..

Terlepas dari loncat generasi yang jauh. Aku tetap saja percaya pada sesuatu bernama - keyakinan. Ya, keyakinan yang akan menjembatani setiap jarak yang terbentang antara aku dan suami, antara aku dengan (nanti) bayi kami. Siapa yang pernah mengira bahwa Usamah bin Zaid - seorang komandan perang termuda berusia 19 tahun, merupakan anak dari pernikahan yang sangat jomplang, bahkan beda generasi. Ayah Usamah ialah Zaid bin Haritsah, anak angkat rasulullah yang usianya 10 tahun lebih muda dari rasulullah. Sedangkan ibunya adalah Ummu Aiman, budak Habsyi yang umurnya melampaui Aminah, Ibunda Rasulullah. Sangat sangat jauh. Tapi dari pernikahan keduanya lah lahir seorang bayi islam yang dinantikan seluruh penduduk Madinah saat itu. Bayi yang bertumbuh menjadi seorang anak ksatria yang bersikeras mengikuti Perang Khandaq di usianya yang kelima belas. Masya Allah.

Keyakinan iman. Keyakinan yang mampu membuat kita meniti setiap perbedaan. Terus belajar membangun keharmonisan. Bukan hal yang sepele, sebab sungguh membutuhkan banyak sekali perbaikan.. penundukan ego.. kemauan menerima.. dan kerelaan berbagi.


Kebayoran Baru,
Nurma Sawiyya

Jika Ada

Jika ada yang ingin aku sematkan,
kuharap itu bukan kebanggaan atas rupa.
Kubilang jangan memujiku cantik
Sebab aku merasa dikotakkan pada standar-standar bodoh manusia
soal mulus, soal putih, soal langsing, soal warna bibir,
soal hal-hal lahir yang memang diciptakan Allah dari dulu demikian

Jika ada yang ingin aku dahulukan,
kuharap itu bukan soal tampilan luar
Soal merk pakaian, apalagi ngobrol soal brand terkenal
Sebab aku merasa dikerdilkan oleh standar paling material
yang justru menghinakan

Jika ada yang harus aku perhatikan,
kuharap itu soal sejauh apa aku mampu menakar
Atas kapasitas diri.
Atas prestasi.
Lalu berkarya sampai mati.

Mereka selalu punya hal untuk dicaci,
tanpa pernah melihat cela diri
Mengata-ngatai
Tanpa melihat aib hati.

Kuharap,
Aku mampu memuliakan diri seperti sifat para nabi.
Tapi justru melalui tulisan ini,
Aku ingin memaki.
Bodoh!

Ya, manusia memang bodoh.
Bodoh karena lebih senang mengoreksi orang ketimbang
menghitung dosa-dosa sendiri.
Bodoh karena lebih marah dikatai manusia
padahal aibnya jauh lebih busuk.

Ya, bodoh.
Dan si bodoh ini sedang menulis kebodohannya tanpa henti.



Nurma Sawiyya,
Kebayoran Baru, 13 Agustus 2018