Pages

Elegi Februari

" Kamu sudah menggunakan kesempatanmu yang sembilan belas tahun." suara itu terdengar parau, seperti yang biasa kudengar. Suara yang hampir sulit dilupakan selama bermusim-musim. Aku menoleh, tidak sulit mencarinya di tengah hutan ini, karena dia bercahaya (lagi-lagi) seperti biasa. Dia berayun di dahan willow yang besar, menatapku.

" ah...kamu ingat juga rupanya." aku tersenyum kecil. Mengingat tahun-tahun sebelumnya, ritual yang sama. Mungkin bukan karena dia ingat, tapi memang sudah menjadi kebiasaan.

" seperti yang lain, aku ingat hari ini." Dia melompat dari dahan, berbaring di karpet ilalang yang basah.

" ya, seperti yang lain...", aku tertawa ringkih. "kupikir kamu tidak ingat, itu lebih mudah bagiku.."

" hmm... Aku tahu. Sepertinya kamu bersungguh-sungguh melupakanku."

" Aku hanya harus melakukannya..". Diam menyusul pembicaraan kami. Hening yang kusuka, diam yang membuatku sanggup mengurai kata. Ah... Sudah sangat lama aku menikam senyap dengan untaian kata tak indah milikku, untuk sekadar mengganti nama yang tak bisa kusebut.

" Kamu senang melakukan ini?", wajahnya tampak tak mengerti. Sejujurnya, aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini.

" aku tidak tahu. Hanya saja lega. Sudah lama aku tidak menghirup kebebasan ini...".

" kenapa? Apa karena begitu menyesakkan memandangku? Apa karena aku tidak juga memastikan?", hijaunya meredup. Indah sekali, sama menawannya ketika ia berbinar.

" Aku hanya harus melakukannya. Tidak serumit yang kamu bayangkan."

" benarkah?"

"benar." kulirik ia dengan ekor mata. Dia sudah menghilang, bersama seluruh cahaya kunang. Tak ada yang tersisa. Semoga. Sepercik air berpenjar... Biarlah. Waktu yang akan mengurus sisanya.


Jatinangor, 7 Februari 2011