untuk Peri Cahaya
I'm just not feeling well. pls let all of this things float away... I dont need to be understood. I dont need to be such angel girl. I dont need to be criticized now.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertama kali tiba di hutan cahaya, aku mengenal setiap daunnya yang dingin mengembun secara saksama, aku mengenal setiap lekuk jalanan yang menerjang ilalang, aku mengenal setiap lengking serangga yang bernaung di bawah rerumput nakal, juga aku mengenal setiap keistimewaan yang dimiliki para pengasuh cahaya. Mereka bukan malaikat, hanya sekumpulan peri kecil yang merawat cahaya hutan yang semakin sirna di tepian zaman. Aku adalah seorang peri yang belajar mengenal cahaya itu...
Tak ada kepakan yang tersia karena setiap mereka terbang selalu ada bunga yang memekar indah tersentuh cahaya. Tak ada candaan tanpa makna, karena kata yang disenandungkan terpanggil oleh beratus lentera. Tak ada hati yang hitam legam karena setiap degup sudah termakna pada kemuliaan yang membungkus nafas. Kami semua belajar merajut cahaya, atau sekadar menyebar benih cahaya pada setiap tanah kering yang merah.
kami semua pernah jadi peri cahaya yang mengepak indah dengan warna yang berbeda.
kami semua pernah jadi peri cahaya yang menyulam mulia saat singgah di lembah
kami semua pernah jadi peri cahaya yang bermimpi menyalakan lentera dunia...
Kata 'pernah' itu rasanya menyakitkan. bukankah mimpi itu yang mewarnai setiap kepak kita? Bukankah mimpi itu yang terbungkus rapi ketika kita semua mulai terbang ke luar sana? Bukankah mimpi itu juga yang menjadi alasan kita keluar dari hutan cahaya?
sebuah pelita akan terus ada pada diri setiap kita, jangan kalah pada badai yang melegam di hari-hari tanpa rembulan, jangan kalah pada kelam yang menerkam setiap langkah kita, dan jangan kalah dengan sinar hitam yang terlihat elok penuh kelembutan. Cahaya itu jangan sampai padam.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diposting oleh
oema
di
02.17
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Ramadhan dan Sabar :)
SABAR. Kata itu menjadi PR tersendiri buatku. Itu yang aku panjatkan sebagai permintaan khususku di bulan Ramadhan ini. Aku memohonkan kata itu melekat pada diriku. Dan banyak hal yang terjadi, bukan kesabaran itu yang langsung melekat padaku, tapi aku dihadapkan pada banyak peristiwa yang menguji dan meminta keberserahanku padaNya.
Kenapa aku punya permintaan khusus? Karena hal itu yang masih sangat kurang pada diriku, sehingga aku selalu menangis setiap kali kesal menunggu bis yang ngetem selama 2 jam, aku selalu mengetuk-ngetukkan jari tangan saat harus menunggu seseorang yang telat janjian, atau merutuk dalam diam setiap kali ada orang yang seenaknya di ruang publik. Sabar bagiku adalah tak ada keluh yang menyisa di sudut bibir ketika semua perencanaan terhambat atau semua kemudahan dicabut, atau ketika kebenaran itu diinjak. Bukan rutukan yang harus ada. Bukan umpatan. Karena itu bukan penyelesaian. Sabar adalah mengikhtiarkan sambil tak putusnya berbaik sangka kepadaNYA. Sabar adalah menyadari setiap peristiwa diterjadikan dengan izin dan ketetapanNYA, tanpa cela, tanpa kecacatan. Sabar juga merupakan sebuah pengertian tanpa habis untuk menerima.
kenapa harus di bulan Ramadhan? Karena Ramadhan adalah bulan pembinaan diri untuk menjadi diri yang jauh lebih baik ketika menginjak Syawal. Tak ada pembinaan diri yang nyaman. Tak ada pembinaan diri yang menyenangkan. Seperti juga guci-guci cantik yang menghabiskan sebagian besar prosesnya dengan menyakitkan, seperti juga kupu-kupu yang terjelma dari ulat yang menempuh proses yang panjang, seperti juga diri kita yang harus melalui setiap sakit dan luka untuk menjadi mulia. Tidak ada kemuliaan tanpa pengorbanan, itu yang harus disadari. Sehingga Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk menempa diri agar menjadi mulia dan memiliki kesiapan optimal untuk menghadapi sebelas bulan ke depan yang akan penuh dengan hambatan.
Ketika rasa malas itu menerjang; ingatlah saja, Badar dimenangkan ketika terik membakar Ramadhan itu terasa; ingatlah saja, Mekah dimuliakan ketika panasnya Ramadhan menggantang; dan ingatlah saja, sesungguhnya perang yang lebih dahsyat dari semua itu adalah pergulatan batin untuk mengelola hawa nafsu. :) pembinaan juga berarti kesediaan untuk mendekat padaNYA tanpa ragu.
Ah, jadi bicara panjang lebar. :) kembali ke persoalan sabar, banyak yang terjadi. banyak tangis tertahan, banyak sangka yang harus diluruskan, banyak juga amarah yang harus dikelola agar tak jadi bom waktu yang menghancurkan. Ada cerita tentang macet luar biasa, ada cerita tentang keikhlasan menolong si muda, ada cerita tentang keterlambatan saat janjian, ada cerita tentang baik sangka ketika seluruh rancangan rencana rusak dengan realisasi acak-acakan, ada juga cerita tentang menahan marah meski benar. PR. Bismillah... harus bisa.
Semoga Syawal menjadi bulan peningkatan yang menjadi hasil berproses dari pembinaan diri. Amin.. :)
7 Agustus 2012
Diposting oleh
oema
di
00.23
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Buka Mata!
hhmm... Sekarang hari selasa. Baru tiga hari yang lalu aku menulis
catatan, rasanya sudah sangat lama. Kalau sedang banyak yang dipikirkan,
sepertinya waktu menjadi berdetak tanpa tik tak, dan geletar ide untuk
menulis meluap.
Ramadhan kali ini tidak syahdu. Tak ada reramai alquran yang dikumandangkan, tak ada tarawih yang digenapkan dengan kekhusyuan, tak ada bedanya dengan bulan-bulan biasa, mengkhawatirkan. Yang ada hanya riuh yang bergemuruh sesaat kala kumandang adzan diperdengarkan, riuh di tempat makan, riuh berjejalan mengantri ta'jil, lalu sepi, tanpa tasbih. Yang ada cuma perayaan yang membabi buta ketika perut dinyatakan halal untuk berbuka. Yang ada hanya gempita yang tercipta karena sibuk berbuka bersama orang-orang tercinta. Bahkan ada juga yang sibuk berdua menanti tiba sang matari tercelup sempurna di barat sana. Seolah ramadhan berarti tak makan juga tak bisa minum saja. Seolah ramadhan ada untuk membuat kita bersyukur atas perut kenyang saja. Seolah ramadhan ada untuk menjadi momen yang pas untuk berkumpul bersama, janjian sana sini, sahur bareng hingga buka bareng digelar. Ah.... Yang benar saja!
Tahun ini, rasanya penghormatan terhadap bulan yang termaknakan panas membakar ini semakin merosot saja. semakin sibuk dengan urusan kepanitiaannya, semakin sibuk dengan tugas-tugas kuliah di semester pendeknya, semakin sibuk berlarut dengan sukanya berkumpul keluarga, semakin sibuk sendiri. Juga semakin sibuk mengelokkan diri dengan kesibukan mengkhatamkan al quran, atau susah payah shalat malam demi lailatul qadar. Semuanya sibuk sendiri. Apa ada yang peduli dengan kerabatnya? apa ada yang mau melihat saudaranya? asyik saja mengelipkan kilau diri tanpa mau tahu legam yang beredar di sekelilingnya.
Ini cuma refleksi. Tanpa kritisi, tanpa provokasi. Cuma miris melihat lingkungan yang semakin tak punya adab.
Ramadhan itu apa sih? Sepertinya setiap diri perlu menemukan jawabannya sendiri, sehingga makna ramadhan tak cuma terhiaskan di antara lapar dan dahaga hingga senja, atau menghabiskan separuh nafas untuk membaca cintaNya.
Warung Kalde, 24 Juli 2012
Nirma Yawisa
Ramadhan kali ini tidak syahdu. Tak ada reramai alquran yang dikumandangkan, tak ada tarawih yang digenapkan dengan kekhusyuan, tak ada bedanya dengan bulan-bulan biasa, mengkhawatirkan. Yang ada hanya riuh yang bergemuruh sesaat kala kumandang adzan diperdengarkan, riuh di tempat makan, riuh berjejalan mengantri ta'jil, lalu sepi, tanpa tasbih. Yang ada cuma perayaan yang membabi buta ketika perut dinyatakan halal untuk berbuka. Yang ada hanya gempita yang tercipta karena sibuk berbuka bersama orang-orang tercinta. Bahkan ada juga yang sibuk berdua menanti tiba sang matari tercelup sempurna di barat sana. Seolah ramadhan berarti tak makan juga tak bisa minum saja. Seolah ramadhan ada untuk membuat kita bersyukur atas perut kenyang saja. Seolah ramadhan ada untuk menjadi momen yang pas untuk berkumpul bersama, janjian sana sini, sahur bareng hingga buka bareng digelar. Ah.... Yang benar saja!
Tahun ini, rasanya penghormatan terhadap bulan yang termaknakan panas membakar ini semakin merosot saja. semakin sibuk dengan urusan kepanitiaannya, semakin sibuk dengan tugas-tugas kuliah di semester pendeknya, semakin sibuk berlarut dengan sukanya berkumpul keluarga, semakin sibuk sendiri. Juga semakin sibuk mengelokkan diri dengan kesibukan mengkhatamkan al quran, atau susah payah shalat malam demi lailatul qadar. Semuanya sibuk sendiri. Apa ada yang peduli dengan kerabatnya? apa ada yang mau melihat saudaranya? asyik saja mengelipkan kilau diri tanpa mau tahu legam yang beredar di sekelilingnya.
Ini cuma refleksi. Tanpa kritisi, tanpa provokasi. Cuma miris melihat lingkungan yang semakin tak punya adab.
Ramadhan itu apa sih? Sepertinya setiap diri perlu menemukan jawabannya sendiri, sehingga makna ramadhan tak cuma terhiaskan di antara lapar dan dahaga hingga senja, atau menghabiskan separuh nafas untuk membaca cintaNya.
Warung Kalde, 24 Juli 2012
Nirma Yawisa
Diposting oleh
oema
di
22.07
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
percik
PEDULI tanpa PEKA
akhir-akhir ini terlalu banyak bergelut dengan ini: PEDULI tanpa PEKA.
Lama-lama jadi pengamat bikin muak juga. :) #sorry for being sarcastics,
like I always have been..
Manusia dikategorikan ke dalam 3 kelompok: pertama, yang gak peduli dan gak mau peduli lingkungan sekitar; dua, yang peduli tapi punya cara 'semau gue' buat mengekspresikan kepeduliannya (gak peka); dan yang ketiga, yang punya kepedulian dan tahu cara serta porsi yang pas untuk mempedulikan orang lain (peka).
Mana yang paling aku benci? opsi kedua. Kenapa?
Kepedulian gak bisa dilepaskan dari kepekaan. Memang ada orang yang peka, ada yang bebal mengenai kondisi orang lain, tapi kepekaan bisa ditumbuhkan, sama seperti kepedulian. Kenapa harus peka? Karena kondisi setiap orang berbeda. Apa yang pas untuk kita, tidak berarti pas untuk orang lain. Kita mungkin akan tersadar setelah ditampar, tapi mungkin orang lain hanya akan merasakan kesakitan jika diperlakukan begitu. Kita mungkin suka dilimpahi kata-kata lembut, tapi orang lain mungkin hanya akan merasa malu diperlakukan begitu. Tidak bisa pukul rata. perbedaan individual berlaku. Tapi memang ada standar yang akan memagari sebelum kita berinteraksi: norma sosial dan etika. Norma sosial dan etika ini yang akan membantu kita berperilaku ketika kita belum bisa mengenali siapa dan bagaimana orang yang bergaul dengan kita. Artinya, ada aturan yang dinilai baik oleh semua orang untuk bertatakrama. Selanjutnya, kita bisa punya cara bertingkah laku yang berbeda untuk setiap orang yang berbeda, ketika sudah mengenalnya. Cara 'semau gue' cuma bisa diterapkan pada komunitas dengan anggota akrab. Misalnya, kita punya mulut usil tukang ngedumel. Apa kita ngedumel di setiap kesempatan, segala situasi, dengan setiap orang, dimanapun kita berada? TIDAK. Dan tidak bisa seperti itu. Kita bisa berperilaku begitu ketika di komunitas yang akrab dengan kita, sahabat, atau mungkin saudara. Mereka mengenal dengan baik siapa dan bagaimana kita, kita juga mengenal siapa dan bagaimana mereka. Lalu mulut usil kita ini juga ikut menyesuai, harus seusil apa dan mengusili siapa.
Cara 'semau gue'? Tidak bisa, apalagi di lingkungan heterogen yang tidak akrab dengan kita. Meski niatnya baik demi perubahan, cara 'semau gue' tidak akan pernah bisa dipakai. peduli yang salah kaprah namanya. Peduli yang bodoh dan tidak mendatangkan perubahan.
Apakah masih ada yang mau bilang, '' ini cara gue bikin perubahan!!''?. Cara 'semau gue' gak akan pernah bisa dipakai. Kepedulian tanpa kepekaan, buahnya cuma cercaan.
Pusing? Selamat merenung. kepekaanlah yang membuat kita tahu bagaimana cara yang tepat. Peduli? Bagus. Tapi tanpa kepekaan? Kita cuma memaksakan sepatu kita pada kaki orang lain yang belum tentu sama ukurannya dengan kaki kita. Dan itu bodoh.
Ciseke, 16 Juli 2012
Manusia dikategorikan ke dalam 3 kelompok: pertama, yang gak peduli dan gak mau peduli lingkungan sekitar; dua, yang peduli tapi punya cara 'semau gue' buat mengekspresikan kepeduliannya (gak peka); dan yang ketiga, yang punya kepedulian dan tahu cara serta porsi yang pas untuk mempedulikan orang lain (peka).
Mana yang paling aku benci? opsi kedua. Kenapa?
Kepedulian gak bisa dilepaskan dari kepekaan. Memang ada orang yang peka, ada yang bebal mengenai kondisi orang lain, tapi kepekaan bisa ditumbuhkan, sama seperti kepedulian. Kenapa harus peka? Karena kondisi setiap orang berbeda. Apa yang pas untuk kita, tidak berarti pas untuk orang lain. Kita mungkin akan tersadar setelah ditampar, tapi mungkin orang lain hanya akan merasakan kesakitan jika diperlakukan begitu. Kita mungkin suka dilimpahi kata-kata lembut, tapi orang lain mungkin hanya akan merasa malu diperlakukan begitu. Tidak bisa pukul rata. perbedaan individual berlaku. Tapi memang ada standar yang akan memagari sebelum kita berinteraksi: norma sosial dan etika. Norma sosial dan etika ini yang akan membantu kita berperilaku ketika kita belum bisa mengenali siapa dan bagaimana orang yang bergaul dengan kita. Artinya, ada aturan yang dinilai baik oleh semua orang untuk bertatakrama. Selanjutnya, kita bisa punya cara bertingkah laku yang berbeda untuk setiap orang yang berbeda, ketika sudah mengenalnya. Cara 'semau gue' cuma bisa diterapkan pada komunitas dengan anggota akrab. Misalnya, kita punya mulut usil tukang ngedumel. Apa kita ngedumel di setiap kesempatan, segala situasi, dengan setiap orang, dimanapun kita berada? TIDAK. Dan tidak bisa seperti itu. Kita bisa berperilaku begitu ketika di komunitas yang akrab dengan kita, sahabat, atau mungkin saudara. Mereka mengenal dengan baik siapa dan bagaimana kita, kita juga mengenal siapa dan bagaimana mereka. Lalu mulut usil kita ini juga ikut menyesuai, harus seusil apa dan mengusili siapa.
Cara 'semau gue'? Tidak bisa, apalagi di lingkungan heterogen yang tidak akrab dengan kita. Meski niatnya baik demi perubahan, cara 'semau gue' tidak akan pernah bisa dipakai. peduli yang salah kaprah namanya. Peduli yang bodoh dan tidak mendatangkan perubahan.
Apakah masih ada yang mau bilang, '' ini cara gue bikin perubahan!!''?. Cara 'semau gue' gak akan pernah bisa dipakai. Kepedulian tanpa kepekaan, buahnya cuma cercaan.
Pusing? Selamat merenung. kepekaanlah yang membuat kita tahu bagaimana cara yang tepat. Peduli? Bagus. Tapi tanpa kepekaan? Kita cuma memaksakan sepatu kita pada kaki orang lain yang belum tentu sama ukurannya dengan kaki kita. Dan itu bodoh.
Ciseke, 16 Juli 2012
Diposting oleh
oema
di
20.42
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
renung
L E L A H (curhat..)
Mungkin setan sedang terbahak, tentang uluran tangan yang melunglai, tentang mata yang kering tanpa dikomandoi hati yang merintik basah, tentang bibir yang datar tanpa lekuk, tentang aku.
kalau lelah selalu bertingkah, tak mengapa. Kalau merah yang menangis pecah, bagaimana?
yang di atas tadi? ya. itu cuma curhatan. Terlalu banyak tekanan yang tidak bisa diceritakan lewat bibir ini. Aku bingung, setiap kali menulis kok rasanya yang keluar cuma kesentimentilan aku, seluruh diksi melankolis yang tercatat. Mungkin aku kelewat sensitif.
Aku hampir menangis. sudah 2 tahun terlewat sejak tangis terakhirku karena hal semacam ini: LELAH. Bukan karena ukuran fisik, bukan. Hanya saja sudah terlalu banyak energi yang terkuras untuk menjaga si merah ini tetap tersenyum. Aku sudah terlalu terbiasa 'dimarahi' orang. Terlalu terbiasa 'disalahkan'. Terlalu terbiasa menunduk saja, menelan bulat-bulat semua tuduhan yang terlontar padaku. rasanya sangat lelah.
Aku ingin marah, tapi pada siapa? Hakku untuk marah sudah tak ada. Malah akan mengoyak semuanya... Mungkin aku terlalu takut untuk bersandar sendiri. Mungkin aku terlalu takut untuk menggenggam angin di antara jemari yang kosong. Diam ini sudah melahirkan bermacam prasangka.
Tuhan....
Tolong buat dia bicara.
Aku lelah menyapa tanpa diberi ruang di hati
Aku lelah menjaga sekaca hati yang terlalu rapuh
dan hatiku juga mulai rentan
sebentar lagi hancur..
Aku sedang tak mau diadili. Maaf.
Diposting oleh
oema
di
09.35
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Catatan Sawiyya - Apel Busuk
25 Maret 2012 - Ciseke
Banyak yang membadai di dada, sesak terkadang menyeruak, tangis membulir di tepian mata, dan jika kubuka mata ini lebar-lebar, kemarahan akan terus menyerang, menyesakkan, memberikan perih, lalu pelan-pelan, murka itu mengembun di sudut. Tidak tahu harus memulai dari mana, tidak tahu bagaimana harus memaparkan segalanya, terlalu sesak, terlalu berat, terlalu nyeri.
Akhir-akhir ini dengar sering terjadi pembicaraan mengenai pengkhianatan - pengkhianatan dalam suatu pergerakan jika harus kuperjelas. Serigala berbulu domba, mereka menyebutnya. Aku lebih senang mengatakannya apel (yang dikira) busuk. Beragam alasan yang membuat apel ini dikira busuk, lalu dilempar jauh-jauh agar kebusukannya itu tidak menyebar noktah atau benih busuk juga di kalangannya, salah satunya: memilih jalan yang dilarang organisasi atau pergerakan. Memang jelas bersalah, memang jelas 'berkhianat', tapi ada yang menggugah di dalam sini, sesuatu yang menggelegak di dalam dada -- kemarahan.
Apa masalahnya?
Bagi saya pribadi, pengeluaran atau hired'nya seseorang bukanlah suatu solusi. Mengapa melihat busuknya pale lalu membuangnya serta merta? Mengapa tidak bagioan busuknya saja yang dihilangkan? mengapa tidak mau repot? menggelikan.
Secara psikologis, punishment memang berpengaruh untuk melemahkan perilaku yang tidak diharapkan, namun yang menjadi pertanyaan, punishment yang seperti apa? Punishment yang 'asal' bukannya akan membawa pengaruh baik bagi orang yang bersangkutan, namun malah memperburuk keadaannya. Baiklah, dia bersalah, lalu haruskan punishment itu datang dalam bentuk cercaan, hina dina, mempermalukan di depan publik? Sungguh, kaum yang membodoh yang memakai cara itu.
Kembali ke masalah punishment tadi. Punishment ini akan bekerja secara efektif bila disertai dengan adanya pendampingan. Yang dimaksud dengan pendampingan di sini BUKAN penyudutan kepada orang tersebut, dengan selalu menyindir kesalahannya setiap kali ada kesempatan, 'meneror' wall facebook orang tersebut, atau mengirimi pesan-pesan makian. itu sih namanya PENYIKSAAN SECARA PSIKOLOGIS. Dan itu berbahaya karena sejatinya, orang tersebut sudah mengetahui letak kesalahannya, merasa bersalah, dan conscience yang ada dalam dirinya cukup memberinya hukuman. Tak perlulah kita menambah penyiksaan dalam dirinya, bukan perbaikan yang akan terjadi, namun keterpurukan.
Pendampingan inilah yang akan membantu dia membuang bagian busuk yang ada dalam dirinya. Mengapa dikeluarkan? Dipermalukan? Pendampingan tidak hanya akan berbuah kebaikan, tetapi juga berbuah sehatnya hubungan. Dan dikeluarkan? itu hanyalah cara mereka yang tidak mau repot untuk menangani kebusukan. Buang saja, cari yang baru - begitu mungkin falsafah yang dianutnya. Lah, persaudaraan macam apa ya?
Umar Ibn Khattab masih sulit menghilangkan kebiasaan minum khamar ketika beliau baru saja memeluk Islam, lalu apa yang Rasulullah katakan padanya? Rasulullah mengingatkannya dengan bersabda, " Wahai Umar, ingatlah janjimu kepada Allah". Rasulullah mengingatkan beliau dengan kata yang tidak memiliki makna apapun selain untuk mengingatkan, bukan untuk menghina atau menyindirnya secara terus menerus. Menghukum saja bukan suatu solusi, bagaimanapun setiap orang butuh didukung, dikuatkan, dijaga. Bukankah persaudaraan itu indah karena saling menjaga? Tidak ada yang ditinggalkan, pun meninggalkan. Tidak dilepas, pun melepaskan.
Banyak yang membadai di dada, sesak terkadang menyeruak, tangis membulir di tepian mata, dan jika kubuka mata ini lebar-lebar, kemarahan akan terus menyerang, menyesakkan, memberikan perih, lalu pelan-pelan, murka itu mengembun di sudut. Tidak tahu harus memulai dari mana, tidak tahu bagaimana harus memaparkan segalanya, terlalu sesak, terlalu berat, terlalu nyeri.
Akhir-akhir ini dengar sering terjadi pembicaraan mengenai pengkhianatan - pengkhianatan dalam suatu pergerakan jika harus kuperjelas. Serigala berbulu domba, mereka menyebutnya. Aku lebih senang mengatakannya apel (yang dikira) busuk. Beragam alasan yang membuat apel ini dikira busuk, lalu dilempar jauh-jauh agar kebusukannya itu tidak menyebar noktah atau benih busuk juga di kalangannya, salah satunya: memilih jalan yang dilarang organisasi atau pergerakan. Memang jelas bersalah, memang jelas 'berkhianat', tapi ada yang menggugah di dalam sini, sesuatu yang menggelegak di dalam dada -- kemarahan.
Apa masalahnya?
Bagi saya pribadi, pengeluaran atau hired'nya seseorang bukanlah suatu solusi. Mengapa melihat busuknya pale lalu membuangnya serta merta? Mengapa tidak bagioan busuknya saja yang dihilangkan? mengapa tidak mau repot? menggelikan.
Secara psikologis, punishment memang berpengaruh untuk melemahkan perilaku yang tidak diharapkan, namun yang menjadi pertanyaan, punishment yang seperti apa? Punishment yang 'asal' bukannya akan membawa pengaruh baik bagi orang yang bersangkutan, namun malah memperburuk keadaannya. Baiklah, dia bersalah, lalu haruskan punishment itu datang dalam bentuk cercaan, hina dina, mempermalukan di depan publik? Sungguh, kaum yang membodoh yang memakai cara itu.
Kembali ke masalah punishment tadi. Punishment ini akan bekerja secara efektif bila disertai dengan adanya pendampingan. Yang dimaksud dengan pendampingan di sini BUKAN penyudutan kepada orang tersebut, dengan selalu menyindir kesalahannya setiap kali ada kesempatan, 'meneror' wall facebook orang tersebut, atau mengirimi pesan-pesan makian. itu sih namanya PENYIKSAAN SECARA PSIKOLOGIS. Dan itu berbahaya karena sejatinya, orang tersebut sudah mengetahui letak kesalahannya, merasa bersalah, dan conscience yang ada dalam dirinya cukup memberinya hukuman. Tak perlulah kita menambah penyiksaan dalam dirinya, bukan perbaikan yang akan terjadi, namun keterpurukan.
Pendampingan inilah yang akan membantu dia membuang bagian busuk yang ada dalam dirinya. Mengapa dikeluarkan? Dipermalukan? Pendampingan tidak hanya akan berbuah kebaikan, tetapi juga berbuah sehatnya hubungan. Dan dikeluarkan? itu hanyalah cara mereka yang tidak mau repot untuk menangani kebusukan. Buang saja, cari yang baru - begitu mungkin falsafah yang dianutnya. Lah, persaudaraan macam apa ya?
Umar Ibn Khattab masih sulit menghilangkan kebiasaan minum khamar ketika beliau baru saja memeluk Islam, lalu apa yang Rasulullah katakan padanya? Rasulullah mengingatkannya dengan bersabda, " Wahai Umar, ingatlah janjimu kepada Allah". Rasulullah mengingatkan beliau dengan kata yang tidak memiliki makna apapun selain untuk mengingatkan, bukan untuk menghina atau menyindirnya secara terus menerus. Menghukum saja bukan suatu solusi, bagaimanapun setiap orang butuh didukung, dikuatkan, dijaga. Bukankah persaudaraan itu indah karena saling menjaga? Tidak ada yang ditinggalkan, pun meninggalkan. Tidak dilepas, pun melepaskan.
Diposting oleh
oema
di
06.41
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook