DI BALIK MANGLAYANG, MAKNA ITU KUSINGKAP
Badan rasanya remuk, seluruh
persendian sakit, telapak kaki mengelupas, dan tangan tergores di sana-sini.
Entah itu efek normal dari pasca-pendakian, atau itu efek yang cuma terasa oleh
pemula seperti aku. Secara teoretis maupun praktis, aku tidak berpengalaman
naik-turun gunung. Dan entah kelewat nekat atau bodoh aku mengiyakan saja
ajakan adik kelasku untuk naik gunung Manglayang – tanpa latihan fisik, tanpa
pengetahuan survival! Wah… cari mati
emang… *geli sendiri* haha..
Kenapa aku mau? Yah, katakan ini
adalah salah satu terapi yang aku rancang sendiri untuk mengalahkan ketakutan
dan ketidakpercayaan diriku. Juga membuat warna dari pengalamanku beraneka. Aku
terlalu banyak terdiam di wilayah para akademisi yang tertegun pada landasan
teoretis dan memperdebatkan data-data yang ada. Sudah cukup bicara dengan
mereka yang bolak-balik ke luar negeri, menang lomba sana-sini, diskusi teori psikologi tanpa pernah lihat
kenyataan yang ada. Sudah saatnya lihat dunia yang sebenarnya, yang tak pernah
bisa tergambar dari teori. Teori adalah idealismenya, tapi kenyataan tak pernah
ada yang ideal.
Aku mendengar seorang teman
sedang belajar jadi trainer (Heran.
Marak sekali profesi yang satu ini – sempat berpikir kuliah 8 semester
psikologi bisa kalah pamor sama yang ikutan lisensi hipnoterapi, NLP, yang cuma
2 bulanan tanpa punya teori psikologi mendasar. Oke, itu dibicarakan lain kali
saja). Jadi temanku ini sekarang dalam masa penjagaan citra diri (self-image) dalam rangka menjadi trainer. Denger-denger dia gak boleh
jajan sembarangan, gak bisa lagi makan di warteg, gak bisa kuliner di pinggir
jalan, gak bisa lagi naik-turun angkot, kemana-mana minimal pake travel, ah, ribet bener pokoknya. Is that the way you can help the other
people? Aneh sekali.
Yang aku dapat dari Kuliah Teknik
dan Prosedur Memfasilitasi (TPM) adalah perbedaan trainer dan presenter. Trainer itu salah satu tugasnya adalah
membuat audiens merasa kagum dan percaya diri dengan potensi yang dimilikinya
masing-masing, sehingga efeknya adalah perubahan pola pikir. Perubahan pola
pikir ini kemudian akan jadi perubahan tingkah laku. Presenter lain lagi. Presenter
akan membuat audiens kagum pada diri presenter.
Mungkin akan berefek secara tidak langsung, karena salah satu syarat komunikasi
efektif (bisa mempersuasi) adalah komunikator harus terlihat credible. Tapi bukan itu main focus dari seorang trainer. Selain mampu memikat perhatian
audiens, trainer harus mampu
mencerahkan pemahaman, membuat setiap orang merasa istimewa, bukan sibuk
memperindah diri atau sekadar jaga imej demi terbangunnya wibawa. Haha… aku
bukan sinis, hanya merasa jadi seorang trainer
jadi begitu mudahnya hanya berbekal buku-buku motivasi, pandai bicara, lalu
percaya diri.
Kaitannya dengan naik gunung?
Dasar dari memahami orang lain adalah juga memahami lingkungannya, mengenal
kegiatan yang kerap dilakukannya. Tingkah laku manusia hanya bisa berarti dan
bisa dimaknai kalau ada konteks. Mudah
bicara dengan teori, tapi manusia tak selinier itu yang bisa diprediksi
hanya dari teori, maka salah satu
senjata psikolog adalah data observasi, wawancara, kuesioner. Tidak perlu
dibahas apa kelebihan dan kekurangan dari ketiga metode pengumpulan data tadi.
Yang pasti, terjun langsung melihat ‘kenyataan’ adalah sebuah keharusan. Bicara
empati, bicara afeksi, cuma bisa tumbuh kalau kita terjun langsung, tercebur
dalam realitas yang mengalir.
Naik gunung adalah juga caraku
untuk memahami orang lain dari sudut pandangnya. Memahami uluran tangan dari
kepayahan yang ada, memahami desah nafas yang memburu namun kaki masih harus
terus melangkah, memahami teriakan semangat yang terlontar saat teman lain tak
mampu berdiri lagi, memahami mengapa seluruh jerih payah bisa terbayar setelah
sampai di puncak sana, memahami betapa manusia memiliki potensi yang bisa
dioptimalkan hingga batasnya.
Aku sendiri tak pernah menyangka aku akan
menjejak di puncak Manglayang. Setiap 10-15 menit sekali kami beristirahat,
rasanya sudah tak sanggup, tarikan nafas sudah cepat, yang terdengar hanya
desah. Berkali-kali aku meyakinkan diri saat kaki dan tanganku sudah gemetar
dan badanku mulai mogok untuk mau diangkat melewati tanjakan dan pijakan,
berkali-kali pula aku tertawa melepas tekanan saat aku jatuh atau terpeleset. Canggihnya
otak manusia, bisa dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendorong tubuh yang
sudah mulai lelah dan ingin berhenti. Sulit untuk jadi seorang pendaki – satu
lagi yang bisa aku pelajari. Tak ada yang bisa diremehkan dari profesi apapun.
Gak ada tuh istilah “enak ya jadi dia,
kerjaannya gitu doang”. Gak ada yang namanya ‘gitu doang’, semua ada ilmunya.
Jadi apa poinnya?
Aku cuma bisa bilang, maknai
setiap kegiatan yang kita jalani, lakukan kegiatan yang tidak pernah kita coba
sebelumnya, dan kita akan menemukan, sungguh Tuhan tak pernah mencipta tanpa
perencanaan. Kenali dirimu maka kau akan kenali Tuhanmu. Lanjutannya, kenali
lingkunganmu maka akan kau lihat mengapa Tuhan membuat segalanya berbeda. :) Kalau kita mau, kita
bisa melihat ayatNya di manapun kita berada, dengan siapapun kita bicara.
Kapanpun itu.
*banyak notes yang bisa
dituliskan. Ini baru makna pertama yang bisa kuambil.
Uma - 13 Maret 2013, 20 jam setelah pendakian.
Selalu ada cara untuk memaknakan setiap celah dan detail kehidupan. Untuk apa punya bermacam kegiatan kalau tanpa refleksi? Mendaki, menulis, melukis, berpuisi, berorganisasi, semua itu cuma media, media untuk lebih memahami hidup dan meningkatkan kualitas diri.
1 komentar:
vote oema untu kadi mapres 2013! Fighting!!
Posting Komentar