Januari Dua di Balik Jendela
Bismillah....
Malam masih terlalu awal jika kubilang temaram, aku terdesak oleh kerinduan yang sangat. untuk menulis, menulis semua yang kupikirkan. Berkecamuk. Membadai. Semoga cukup berharga untuk dibaca, dan berbobot untuk dicerna.
Banyak orang punya mimpi, sedikit sekali yang membuatnya realistis dan tercapai. Termasuk aku. Aku selalu sesumbar, aku suka sastra, aku suka menulis, aku ingin punya buku, aku ingin ini, aku ingin itu. tapi hasilnya? rasanya hampir nihil, yang kulakukan cuma menulis dengan seadanya, seingatnya, semaunya, sebisanya, sesukanya. Terkadang di halaman Diary, di balik textbook yang lelah kubaca, di balik lembar soal yang sudah bosan kutatapi, di sela waktu ujian, di sela kebosanan menunggu damri, di sela kesepian. Aku sangat suka menulis sampai lupa untuk bersungguh di dalamnya. Saking sukanya, aku bisa melakukannya di manapun, kapanpun, tanpa beban. Ya, itu adalah passion terbesar dalam hidupku. Namun, rasanya jadi sebatas passion yang tidak aku perjuangkan.
Kenapa terpikir begitu? yaah... kulihat beberapa orang teman mulai terlihat berbinar dengan gairahnya. Ada yang suka public speaking, lalu jadi pembicara ulung. Ada yang suka menulis, lalu jadi member tetap suatu komunitas penulis, ikut berbagai lomba kepenulisan. Ada yang suka desain kaus, lalu dia berhasil membuat suatu brand pakaian dengan namanya. Itu mungkin adalah passion mereka. Bagaimana dengan aku? Aku masih tetap seperti ini. Menulis sesukanya di manapun, mem-publish'nya ke jejaring sosial, blog, dan tumbler-ku. Apa tampak begitu hopeless? Aku juga tidak tahu. haha... sudah ada 460 catatan di sini. Aku ingin sekali bilang, itu pembuktianku atas besarnya kecintaanku pada menulis. Namun sebatas itukah pembuktiannya? Sebatas aktif menulis via notes facebook?
Aku bukannya gila eksistensi. Cuma terkadang timbul rasa iri, melihat orang-orang besar di luar sana. Hmm.... terlalu picik rasanya kalau melihat kesuksesan dari karya eksis yang ada di masyarakat luas. Aku yang terlalu keras dan idealis dengan pemikiranku, mungkin punya kesempatan lebih kecil untuk bisa diterima. Bagiku, menulis ada ilmunya, meski aku melakukan sesukanya. 2011 adalah awal titik balik dari gaya kepenulisanku - kalau ada yang menyadarinya. Tulisan adalah obor yang akan meminjamkan binarnya pada siapapun yang membacanya, maka tak pernah bisa kutulis hal sampah busuk yang cuma bisa jadi racun.
Aku berharap, binar itu cukup bisa jadi secercah harap untuk menjalani hidup lebih baik. Aku ingin meminjamkan kedua tanganku untuk memeluk siapapun yang butuh dikuatkan. Aku ingin meminjam kedua bahuku untuk membiarkan siapapun sadar dia tidak pernah sendirian. Aku ingin meminjamkan apapun yang bisa kuusahakan untuk menolong orang lain. Tapi nyatanya, kalau melihat watakku. Banyak orang tidak percaya aku punya niat begitu. :) Antara menjadi penulis dan psikolog, aku merasa aku harus menjadi orang yang lebih punya jiwa yang besar. Aku yang sekarang, tidak pernah cukup pantas untuk menyandang keduanya. Aku bisa begitu sarkastik dengan permainan kataku ketika aku sedang berusaha menguatkan seseorang. Aku bisa begitu marah saat mengetahui orang-orang yang aku sayangi melakukan hal yang kami bilang terlarang.
Aku ingat, seorang sahabat pernah bilang, perjalananku untuk jadi seorang psikolog masih sangat panjang kalau mengingat sikapku. Aku sadar, saat itu aku berkata kasar padanya saking sayang dan kecewanya. Ya, dia benar. Aku juga tidak siap untuk jadi seorang psikolog, atau penulis. Tapi kalau tidak dilatih bagaimana bisa? Bukan cuma kemampuan dan skill yang perlu diasah. Empati, kesabaran, pengelolaan emosi, asertivitas, kebijaksanaan, juga sama. Harus diasah. Setiap orang punya potensi yang sama untuk bisa jadi setangguh Umar, selihay Amr bin Ash, se-tasdik Abu Bakar, sekokoh Bilal, seceria Ali, secerdas Salman, dan sedermawan Utsman. Aku tidak akan menemukan kesabaran kalau kerjaku cuma membaca textbook tebal-tebal. Aku tidak akan menemukan empati kalau aku tidak mau meluangkan waktu untuk membuka mata selebar-lebarnya dan menerima tanpa banyak bicara semua yang aku lihat di kesemrawutan yang ada. Aku tidak akan menemukan komunikasi asertif kalau aku menutup diriku dari orang lain. BERGAUL. Aku cukup paham mengapa semua manusia diharuskan untuk menjalin relasi. Tidak semua hal dapat kita temukan di buku. Teori yang seabrek banyaknya itu tidak berguna kalau kita buta dengan keadaan. APAPUN PROFESINYA.
Aku sedang belajar, untuk bersungguh-sungguh membuka mata. Tidak mudah untuk jadi seorang penulis dan psikolog, kalau rasa itu tidak peka. Tidak pernah mudah untuk jadi apapun di dunia ini, kalau afeksi itu buta.
Jatinangor, 2 januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar