Bismillah....
Malam masih terlalu awal jika kubilang temaram, aku terdesak oleh
kerinduan yang sangat. untuk menulis, menulis semua yang kupikirkan.
Berkecamuk. Membadai. Semoga cukup berharga untuk dibaca, dan berbobot
untuk dicerna.
Banyak orang punya mimpi, sedikit sekali yang membuatnya realistis
dan tercapai. Termasuk aku. Aku selalu sesumbar, aku suka sastra, aku
suka menulis, aku ingin punya buku, aku ingin ini, aku ingin itu. tapi
hasilnya? rasanya hampir nihil, yang kulakukan cuma menulis dengan
seadanya, seingatnya, semaunya, sebisanya, sesukanya. Terkadang di
halaman Diary, di balik textbook yang lelah kubaca, di balik lembar soal
yang sudah bosan kutatapi, di sela waktu ujian, di sela kebosanan
menunggu damri, di sela kesepian. Aku sangat suka menulis sampai lupa
untuk bersungguh di dalamnya. Saking sukanya, aku bisa melakukannya di
manapun, kapanpun, tanpa beban. Ya, itu adalah passion terbesar dalam
hidupku. Namun, rasanya jadi sebatas passion yang tidak aku perjuangkan.
Kenapa terpikir begitu? yaah... kulihat beberapa orang teman mulai
terlihat berbinar dengan gairahnya. Ada yang suka public speaking, lalu
jadi pembicara ulung. Ada yang suka menulis, lalu jadi member tetap
suatu komunitas penulis, ikut berbagai lomba kepenulisan. Ada yang suka
desain kaus, lalu dia berhasil membuat suatu brand pakaian dengan
namanya. Itu mungkin adalah passion mereka. Bagaimana dengan aku? Aku
masih tetap seperti ini. Menulis sesukanya di manapun, mem-publish'nya
ke jejaring sosial, blog, dan tumbler-ku. Apa tampak begitu hopeless?
Aku juga tidak tahu. haha... sudah ada 460 catatan di sini. Aku ingin
sekali bilang, itu pembuktianku atas besarnya kecintaanku pada menulis.
Namun sebatas itukah pembuktiannya? Sebatas aktif menulis via notes
facebook?
Aku bukannya gila eksistensi. Cuma terkadang timbul rasa iri, melihat
orang-orang besar di luar sana. Hmm.... terlalu picik rasanya kalau
melihat kesuksesan dari karya eksis yang ada di masyarakat luas. Aku
yang terlalu keras dan idealis dengan pemikiranku, mungkin punya
kesempatan lebih kecil untuk bisa diterima. Bagiku, menulis ada ilmunya,
meski aku melakukan sesukanya. 2011 adalah awal titik balik dari gaya
kepenulisanku - kalau ada yang menyadarinya. Tulisan adalah obor yang
akan meminjamkan binarnya pada siapapun yang membacanya, maka tak pernah
bisa kutulis hal sampah busuk yang cuma bisa jadi racun.
Aku berharap, binar itu cukup bisa jadi secercah harap untuk
menjalani hidup lebih baik. Aku ingin meminjamkan kedua tanganku untuk
memeluk siapapun yang butuh dikuatkan. Aku ingin meminjam kedua bahuku
untuk membiarkan siapapun sadar dia tidak pernah sendirian. Aku ingin
meminjamkan apapun yang bisa kuusahakan untuk menolong orang lain. Tapi
nyatanya, kalau melihat watakku. Banyak orang tidak percaya aku punya
niat begitu. :) Antara menjadi penulis dan psikolog, aku merasa aku
harus menjadi orang yang lebih punya jiwa yang besar. Aku yang sekarang,
tidak pernah cukup pantas untuk menyandang keduanya. Aku bisa begitu
sarkastik dengan permainan kataku ketika aku sedang berusaha menguatkan
seseorang. Aku bisa begitu marah saat mengetahui orang-orang yang aku
sayangi melakukan hal yang kami bilang terlarang.
Aku ingat, seorang sahabat pernah bilang, perjalananku untuk jadi
seorang psikolog masih sangat panjang kalau mengingat sikapku. Aku
sadar, saat itu aku berkata kasar padanya saking sayang dan kecewanya.
Ya, dia benar. Aku juga tidak siap untuk jadi seorang psikolog, atau
penulis. Tapi kalau tidak dilatih bagaimana bisa? Bukan cuma kemampuan
dan skill yang perlu diasah. Empati, kesabaran, pengelolaan emosi,
asertivitas, kebijaksanaan, juga sama. Harus diasah. Setiap orang punya
potensi yang sama untuk bisa jadi setangguh Umar, selihay Amr bin Ash,
se-tasdik Abu Bakar, sekokoh Bilal, seceria Ali, secerdas Salman, dan
sedermawan Utsman. Aku tidak akan menemukan kesabaran kalau kerjaku cuma
membaca textbook tebal-tebal. Aku tidak akan menemukan empati kalau aku
tidak mau meluangkan waktu untuk membuka mata selebar-lebarnya dan
menerima tanpa banyak bicara semua yang aku lihat di kesemrawutan yang
ada. Aku tidak akan menemukan komunikasi asertif kalau aku menutup
diriku dari orang lain. BERGAUL. Aku cukup paham mengapa semua manusia
diharuskan untuk menjalin relasi. Tidak semua hal dapat kita temukan di
buku. Teori yang seabrek banyaknya itu tidak berguna kalau kita buta
dengan keadaan. APAPUN PROFESINYA.
Aku sedang belajar, untuk bersungguh-sungguh membuka mata. Tidak
mudah untuk jadi seorang penulis dan psikolog, kalau rasa itu tidak
peka. Tidak pernah mudah untuk jadi apapun di dunia ini, kalau afeksi
itu buta.
Jatinangor, 2 januari 2013