Aku berlari meninggalkan dapur yang penuh dengan barang-barang berserakan. Entah harus bagaimana lagi. Menangis atau marah atas kekacauan siang ini. Samar, pekakan tangis itu terdengar. Sama seperti sebelumnya, dan selalu begitu, menjengkelkan!! Aku berbalik kembali menuju dapur, bersiap melayangkan tatapan paling menakutkan.
" sudahlah. Anak kecil memang begitu." lembut suara itu menghardikku, disusul sepasang tangan kokoh yang merengkuh sosok balita di hadapanku. Aku tak dapat mengatakan apapun saking marahnya. Lelaki itu kini sedang menggendong Rafi, si biang masalah, mencoba meredakan tangisnya yang membuat kepala pening.
" sekarang, kamu bisa benahi ruangan ini. Biar aku yang urus si kecil." dia tak menggubris diamku.
" hhh....", aku mengedarkan pandangan. Dua telur pecah di bawah meja, kulkas yang pintunya terbuka, sampah-sampah organik sisa memasak, pokoknya dapur benar-benar berantakan.
" cobalah pahami dia. Dia sedang dalam masa keemasannya, penuh dengan rasa ingin tahu, sangat aktif. Wajar, bukan?". Dia kembali memberi wejangan yang sama padaku. Rasanya sungguh bosan!
" sulit memahami dan mengingat betul hal itu selama hampir 24 jam." aku menggerutu sembari mengepel lantai yang kotor dan bau amis.
Rafi tampak begitu tenang, tangisnya yang hebat sudah digantikan dengan gumaman manja, dia sesekali tertawa. Kini lelaki itu berjalan menuju pintu belakang, memberikan isyarat aku-akan-mengajaknya-bermain. Aku tersenyum.
Lelaki itu, entah sejak kapan jadi dekat dengan Rafi. Padahal sebelumnya Rafi menolak keberadaannya. Aku ingat, pertama kali dia bertemu dengan Rafi dan tersenyum, Rafi malah menangis ketakutan. Alih-alih digendong, ditanyai olehnya pun, Rafi tidak mau.
***
" kalian dekat sekali! Laiknya ayah dan anak." aku menyambut keduanya di pintu ketika mereka tiba sore hari.
" bagaimanapun, aku memang seorang ayah." helaan nafas itu sekarang terdengar lebih berat. Aku melihat kepedihan di matanya.
" merindukannya?", agak takut aku bertanya demikian.
"sangat! Mungkin karena anakku seumuran dengan Rafi, aku jadi mengganggap Rafi anakku sendiri,..", pelan dia berucap, seolah takut kata-katanya akan menyakiti dirinya sendiri, menyadarkan dia lagi akan sebuah hati yang menjadi satu tambahan alasan untuk dia tetap hidup, putranya.
" temui dia, meski ibunya bukan lagi jadi istri darimu."
" hei, ini tidak semudah yang kamu ucapkan, gadis kecil!!", tawa sumbangnya kini membahana.
" lalu mau sampai kapan menahannya? Setidaknya gadis kecil ini tidak menukarkan rasa lega dengan gengsi yang entah sampai kapan bisa terus dipertahankan?!". Aku meraih Rafi dan meninggalkan duda muda itu sendiri.
" masalahnya tidak sesederhana itu." lelaki itu mendesah, duduk di kursi ruang makan, membelakangiku. Aku tahu ada kepedihan bersarang di dadanya, ada marah berkecamuk di hatinya, ada banyak hal yang dipikirkannya.
Aku hanya bisa berdoa untuknya, untuk pamanku yang begitu mencintai anaknya, untuk seorang lelaki yang begitu merindukan buah hatinya hingga memperlakukan adikku dengan lembutnya. (NNS)
0 komentar:
Posting Komentar