Setelah menikah, Masya Allah.... karena mendampingi suami, setiap proyek maupun acara komunitas harus seizin suami, dan tentunya gak terlalu berurusan lebih dalam sehingga waktuku sebagian besarnya bersama suami. Feel so weird, mungkin iya. Apalagi biasanya aku memutuskan apa-apa sendiri. Kalau sekarang, ada teman diskusi, ada teman berbagi, ada yang berhak memberikan keputusan. Termasuk juga urusan ke Jeddah yang satu ini.
Bulan lalu, suami dapat tawaran untuk menghadiri acara di KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) Jeddah. Aku awalnya mengira, seperti biasa, aku akan ditinggal di rumah dan menjalani me-time yang awalnya menyenangkan tapi semakin gloomy karena kangen. hahaha... Tapi ternyata kali ini, aku diajak juga! Yeayyy. Yang bikin senang bukan soal pergi ke luar negeri berdua, tapiiii kami juga dapat kesempatan untuk menjalankan ibadah umrah. Huhuhu.. pingin nangis saking gak nyangkanya.
Skip urusan passpor yang menguras energi
Dan... selama perjalanan menuju Wisma KJRI di jalan Andalus, kami berbincang dengan Pak Dian, yang menjemput kita, soal Jeddah secara garis besar. Baik kultur, maupun politik. Baru-baru ini Jeddah mengeluarkan izin bagi perempuan untuk menyetir. Sekarang, perempuan pun bisa bekerja di kantor. Which means.. sebelumnya Jeddah melarang keras perempuan untuk bekerja di luar rumah, mereka juga gak boleh nyetir di jalan. Mungkin terkait juga sih dengan larangan perempuan untuk bepergian sendirian tanpa mahram. Kenapa? Takutnya kena pelecehan!
Hal-hal tadi bikin aku jadi somewhat scary, sekaligus berpikir soal pandangan orang-orang di luar sana soal islam yang mendiskriminasi perempuan. Mereka berpikir bahwa islam merendahkan perempuan dan mengurung perempuan sehingga tidak bisa berkarya, mereka mengaitkan itu degan kewajiban hijab, kebolehan istri dipoligami, dan hak waris yang berbeda dibanding laki-laki. Menurutku sih, bukan sepenuhnya salah mereka juga. Timur Tengah yang dipandang sebagai negara islam tentu jadi sorotan. Banyaknya kasus pelecehan pada perempuan, tenaga kerja wanita yang dianiaya, seolah bertolak belakang secara ironis dengan bagaimana perempuan terbatas untuk ada di ruang publik karena harus berperan sebagai qonith (mengurus rumah dan menjaga kehormatan keluarga). Islam dipandang tak menjunjung kesetaraan gender karena potret muslim atau negara muslim sama sekali tidak 'ramah' pada perempuan.
Aku perempuan muslim, memakai kerudung, dan menjaga kehormatan diriku maupun suami. Tapi melihat pertama kalinya Jeddah, dan cerita yang kudapat dari shelter, membuatku berpikir, betapa islam dikambinghitamkan untuk setiap kesalahan yang dilakukan pemeluknya. Ketika perempuan dianggap seolah makhluk kelas dua, yang dicurigai, sekaligus juga dijadikan sasaran birahi, maka bukan salah orang di luar sana untuk menghubungkan setiap hal yang melekat pada diri seorang muslim pada islam (poligami, abaya, hijab dsb), lalu mengarah pada kesimpulan islam tidak menghargai perempuan.
Islam memang tidak butuh dicitrakan, karena islam adalah jalan hidup tuntunan Illahi. Tapi perilaku pemeluknya akan sangat menentukan bagaimana orang di luar sana yang tidak memahami islam melihat islam. Islam memuliakan perempuan. Islam bahkan memandang mahal seorang perempuan, hingga ketka wafat pun, mayat seorang perempuan muslim harus dilapisi kafan sebanyak tujuh lapis! Islam tidak pernah melarang perempuan untuk berkarya, sejarah banyak menceritakan kisah-kisah heroik perempuan, seperti Nusaibah yang menjadi prajurit perang, Aisyah yang menuturkan keseharian Rasulullah dalam hadits, dsb.
Islam tidak butuh dicitrakan, tapi kita butuh Islam sebagai jalan hidup terbaik. jalan hidup yang menyelamatkan. Jalan hidup sempurna yang mengantarkan kita pada surgaNya. Jadi sudahkah islam itu tercitra pada diri kita?
Jeddah, 12 Oktober 2018