ISLAMI GAK GAUL atau GAUL GAK ISLAMI?
Habis membaca suatu artikel
mengenai fenomena remaja saat ini yang gaul dan bagaimana reaksi mereka
terhadap islam. Digambarkan bahwa remaja saat ini begitu gandrung dengan mode
yang sedang happening, mengikuti berbagai
hot issue berbau fashion, gaya, dan entertainment;
berpakaian dengan merk-merk mahal, nongkrong saban hari di starbuck, atau paling tidak di Circle
K. Di sisi lain, digambarkan juga bahwa mereka antipati terhadap indentitas
mereka sebagai muslim, yang berpakaian seadanya (asal nyaman), hobinya ngaji,
dan tongkrongannya mesjid. Please
deh!
Entah, mengapa gaul dan islami
menjadi hal yang tampak bertolak belakang? Apakah seseorang yang islami tidak
boleh gaul, ataukah orang gaul yang tidak bisa islami? Picik. Islam saat ini
sudah menjadi barang langka, lalu mengapa tidak kita membumikannya dengan
sesuatu yang dapat diterima secara luas, bahkan oleh orang-orang gaul
sekalipun? Islam saat ini tidak boleh kehilangan identitasnya, namun juga tidak
berarti jadi sesuatu yang kuno, yang gak up
date, yang gak zaman. Biarlah islam dibalut dengan secantik-cantiknya
kemasan, namun tidak kehilangan esensinya. Bukan berarti jadi seorang yang
liberalis, yang menganggap segalanya serba permisif. Bukan berarti jadi seorang
yang humanis, yang melihat manusia begitu bebas, dan kemudian menganggap
kebenaran menjadi sesuatu yang individual dan personal. Hanya soal kemasan
saja. Makanan yang dibungkus dengan cantik akan punya nilai jual lebih
dibanding makanan dengan bungkus polos seadanya. Dan begitupun kebenaran,
kebenaran yang cantik akan menarik banyak peminat, kebenaran yang dikemas
secara kasar bahkan menyakitkan hanya akan berbuah fitnah.
Islam adalah sesuatu yang
mendasar, mengakar, fundamental; namun tidak berarti islam menjadi kehilangan
daya tarik. Mari membumikan al qur’an tanpa harus terkurung dalam mesjid atau
petakan kamar kost yang sempit. Mengapa tidak kita buat mall-mall, food court,
café, dan tempat nongkrong lain menjadi majelis-majelis cahaya yang membahas
perjalanan besar pembangun peradaban Qurani? Mengapa tidak kita buat islam
begitu merakyat sehingga tidak perlu semua orang memahami jargon-jargon yang
njelimet tentang sistem, liberalisme, kapitalisme, konspirasi, perang ideologi,
dan setumpuk kosa kata yang bahkan mahasiswa pun belum tentu mengerti maksudnya
apa. Mengapa tidak kita buat perbincangan al Haq begitu berwarna dengan hikmah,
wawasan yang menyamudera, dan keilmiahan. Mengapa tidak kita buat islam sebagai
cara hidup yang dinamis namun kokoh mengikat?
Jika kembali pada sejarah, kita
juga akan menemukan, kebenaran dibumikan tidak pada satu kalangan saja,
sehingga penyebarannya pun punya banyak cara. Bagaimana seorang Mush’ab bin
Umair yang dikisahkan sebagai seorang borjuis, yang penampilannya begitu
perlente dan wangi, yang didambai wanita-wanita Mekkah, kemudian menjadi
diplomat yang diutus ke Yastrib untuk membumikan Al Qur’an di sana? Apakah kita
masih membayangkan pembinaan bagi Mush’ab seperti mentoringan biasa? Pikirkan
bagaimana Mush’ab tumbuh di kalangannya yang terpandang, pikirkan bagaimana
gaya hidup Mush’ab yang serba ada. Merupakan hal yang bodoh memakai cara yang
sama untuk semua kalangan, yang jelas-jelas berbeda. jadi? Biarkan islam dan
kosa kata ‘gaul’ bukan jadi hal yang berseberangan, namun beriringan.