Pages

Buka Mata!

hhmm... Sekarang hari selasa. Baru tiga hari yang lalu aku menulis catatan, rasanya sudah sangat lama. Kalau sedang banyak yang dipikirkan, sepertinya waktu menjadi berdetak tanpa tik tak, dan geletar ide untuk menulis meluap.

Ramadhan kali ini tidak syahdu. Tak ada reramai alquran yang dikumandangkan, tak ada tarawih yang digenapkan dengan kekhusyuan, tak ada bedanya dengan bulan-bulan biasa, mengkhawatirkan. Yang ada hanya riuh yang bergemuruh sesaat kala kumandang adzan diperdengarkan, riuh di tempat makan, riuh berjejalan mengantri ta'jil, lalu sepi, tanpa tasbih. Yang ada cuma perayaan yang membabi buta ketika perut dinyatakan halal untuk berbuka. Yang ada hanya gempita yang tercipta karena sibuk berbuka bersama orang-orang tercinta. Bahkan ada juga yang sibuk berdua menanti tiba sang matari tercelup sempurna di barat sana. Seolah ramadhan berarti tak makan juga tak bisa minum saja. Seolah ramadhan ada untuk membuat kita bersyukur atas perut kenyang saja. Seolah ramadhan ada untuk menjadi momen yang pas untuk berkumpul bersama, janjian sana sini, sahur bareng hingga buka bareng digelar. Ah.... Yang benar saja!

Tahun ini, rasanya penghormatan terhadap bulan yang termaknakan panas membakar ini semakin merosot saja. semakin sibuk dengan urusan kepanitiaannya, semakin sibuk dengan tugas-tugas kuliah di semester pendeknya, semakin sibuk berlarut dengan sukanya berkumpul keluarga, semakin sibuk sendiri. Juga semakin sibuk mengelokkan diri dengan kesibukan mengkhatamkan al quran, atau susah payah shalat malam demi lailatul qadar. Semuanya sibuk sendiri. Apa ada yang peduli dengan kerabatnya? apa ada yang mau melihat saudaranya? asyik saja mengelipkan kilau diri tanpa mau tahu legam yang beredar di sekelilingnya.

Ini cuma refleksi. Tanpa kritisi, tanpa provokasi. Cuma miris melihat lingkungan yang semakin tak punya adab.

Ramadhan itu apa sih? Sepertinya setiap diri perlu menemukan jawabannya sendiri, sehingga makna ramadhan tak cuma terhiaskan di antara lapar dan dahaga hingga senja, atau menghabiskan separuh nafas untuk membaca cintaNya.


Warung Kalde, 24 Juli 2012
Nirma Yawisa

PEDULI tanpa PEKA

akhir-akhir ini terlalu banyak bergelut dengan ini: PEDULI tanpa PEKA. Lama-lama jadi pengamat bikin muak juga. :) #sorry for being sarcastics, like I always have been.. 
 
Manusia dikategorikan ke dalam 3 kelompok: pertama, yang gak peduli dan gak mau peduli lingkungan sekitar; dua, yang peduli tapi punya cara 'semau gue' buat mengekspresikan kepeduliannya (gak peka); dan yang ketiga, yang punya kepedulian dan tahu cara serta porsi yang pas untuk mempedulikan orang lain (peka).

Mana yang paling aku benci? opsi kedua. Kenapa?

Kepedulian gak bisa dilepaskan dari kepekaan. Memang ada orang yang peka, ada yang bebal mengenai kondisi orang lain, tapi kepekaan bisa ditumbuhkan, sama seperti kepedulian. Kenapa harus peka? Karena kondisi setiap orang berbeda. Apa yang pas untuk kita, tidak berarti pas untuk orang lain. Kita mungkin akan tersadar setelah ditampar, tapi mungkin orang lain hanya akan merasakan kesakitan jika diperlakukan begitu. Kita mungkin suka dilimpahi kata-kata lembut, tapi orang lain mungkin hanya akan merasa malu diperlakukan begitu. Tidak bisa pukul rata. perbedaan individual berlaku. Tapi memang ada standar yang akan memagari sebelum kita berinteraksi: norma sosial dan etika. Norma sosial dan etika ini yang akan membantu kita berperilaku ketika kita belum bisa mengenali siapa dan bagaimana orang yang bergaul dengan kita. Artinya, ada aturan yang dinilai baik oleh semua orang untuk bertatakrama. Selanjutnya, kita bisa punya cara bertingkah laku yang berbeda untuk setiap orang yang berbeda, ketika sudah mengenalnya. Cara 'semau gue' cuma bisa diterapkan pada komunitas dengan anggota akrab. Misalnya, kita punya mulut usil tukang ngedumel. Apa kita ngedumel di setiap kesempatan, segala situasi, dengan setiap orang, dimanapun kita berada? TIDAK. Dan tidak bisa seperti itu. Kita bisa berperilaku begitu ketika di komunitas yang akrab dengan kita, sahabat, atau mungkin saudara. Mereka mengenal dengan baik siapa dan bagaimana kita, kita juga mengenal siapa dan bagaimana mereka. Lalu mulut usil kita ini juga ikut menyesuai, harus seusil apa dan mengusili siapa.

Cara 'semau gue'? Tidak bisa, apalagi di lingkungan heterogen yang tidak akrab dengan kita. Meski niatnya baik demi perubahan, cara 'semau gue' tidak akan pernah bisa dipakai. peduli yang salah kaprah namanya. Peduli yang bodoh dan tidak mendatangkan perubahan.

Apakah masih ada yang mau bilang, '' ini cara gue bikin perubahan!!''?. Cara 'semau gue' gak akan pernah bisa dipakai. Kepedulian tanpa kepekaan, buahnya cuma cercaan.


Pusing? Selamat merenung. kepekaanlah yang membuat kita tahu bagaimana cara yang tepat. Peduli? Bagus. Tapi tanpa kepekaan? Kita cuma memaksakan sepatu kita pada kaki orang lain yang belum tentu sama ukurannya dengan kaki kita. Dan itu bodoh.


Ciseke, 16 Juli 2012